Langsung ke konten utama

Cerpen Mini

DASTER MASUK RESTORAN
Cerpen Mini Zhema

         Hujan sangat deras di luar sana, sesekali petir menyambar memecut atap rumah sakit. Si bungsu yang sedang main pasang puzzle karpet berlari kearah Luluk, baby sitter yang lebih dekat dengannya. Kak Hasmi, suamiku menggenggam erat jemariku. Tatapan mata elangnya yang menggemuruhkan jantungku memberi tanda agar aku tak memeluknya erat dihadapan umum.

       "Selesai dokter periksa Azka, kita makan yah di luar." aku mengangguk sesaat dan tersadar dengan baju daster yang sedang kukenakan.

       "Eh, tapi kak..." kutarik dalam satu genggaman bagian dasterku.

       "Jangan khawatir, kita makan dipinggir jalan aja kok." hand phonenya berbunyi. Telingaku tak bisa kutajamkan karena sorak hujan, yang nampak hanya anggukan kak Hasmi yang dihiasi senyum iklan pasta giginya sebelum ia mengakhiri obrolannya.
        Sekitar setengah jam berlalu, Azka sudah bisa diperiksa oleh dr. Artha, spesialis anak. Azka tak apa-apa hanya alergi susu formula saja dan dianjurkan menggantinya dengan susu kedelai. Rentetan pertanyaan sang dokter membuatku sempat kelu. Sungguh jika ASI ku lancar tak akan kubiarkan si buah hati menyesap susu formula itu.

      "Bagaimana, sudah kah?" Bernard, sahabat suamiku sudah menunggu di ambang pintu bersama Luluk dan kedua anak kembarku Aqila dan Aliqa.

      "Yuk, biar kuantar." Kak Hasmi mengangguk. Ini yang sering kuingatkan padanya selama ini, bahwa masalah menyetir haruslah bisa dikuasai. Jadi, ketika supir sedang berhalangan tak jadi soal.

      "Maaf merepotkan, Ko." timpalku sembari mengelus-elus punggung Azka yang terlelap indah di pelukanku dan kemudian berpindah tempat ke pelukan Luluk, si baby sitter yang sudah kuanggap seperti adik sendiri. Kedua tanganku yang baru saja kosong diisi kembali dengan tangan mungil si kembar.

     "Ayoo kita pegi, Ma!" bulan sabit terukir di senyum keduanya.

      Sekitar 1/2 jam perjalanan, mobil Bernard berhenti di sebuah tempat yang jelas sekali tertulis di depannya "Zidan Bakery and Restaurant". Untuk beberapa saat aku enggan turun, mulutku komat kamit. Mataku terasa menyala ingin mengeluarkan bongkahan api ke Kak Hasmi. Dia tampak santai dan mencoba meredam amarahku.

      "Tak apa, Dik. Lihat kita sama kan?" bercak cat di celana cingkrangnya masih melekat. Apa-apaan pemandangan ini? Serasa pasangan alien dari planet antah berantah. Sepanjang kaki kami melangkah masuk sudah dipanahi tatapan aneh pelayan dan pengunjungnya. Bukan karena kami agak basah tetapi lebih kepada outfit kami malam itu. Daster Masuk Restoran.


KARUN MILENIAL
Cerpen Mini Zhema

         Si Karun setiap pagi selalu bercermin di mobil Maybach Exelero terbarunya. Bumper sejurus mata memandang eloknya sama dengan rupa sang istrinya yang jelita tak terkalahkan.
        Suatu hari diterik panas matahari, ia kendarakan mobil itu di jalan yang kan disambut rambu lalu lintas. Itulah saat benci dan pongahnya keluar ketika para pengendara lain dekat dengan mobilnya. Hari ini, si Tsa diperas-peras perut mungil oleh pemukim ilegal di rumah susun berlipat-lupat itu, usus.

        "Minta, uang Om! Kasihani saya!" tangan mungil dekil membuka hingga menyentuh sedikit pintu mobil si Karun. Ia gusar, bergegas buka pintu mobil dan melepaskan peluru pedas dari rongga busuk mulutnya,

         "Enyah kau sampah!"

         Tsa dihempas harga diri yang iapun belum mengerti. Hanya bisa keluarkan pasukan pemadam kebakaran dari matanya.

         "Saya lapar, Om! Huu"

       "Tak ada uang untuk pemalas dan sampah! Enyah!" segaris cengir dalam wajah-wajah antagonis.

          Beratkah tangan memberi? Jika hatimu tak tersentuh, belajarlah menertibkan mulut-mulut busuk itu di batalyon tentara hatimu, Karun.



CUKUPLAH UNTUK RASA SAKIT INI
Cerpen Mini Zhema

     Aku mengalihkan bayangan yang akan mengecewakan setibaku nanti di rumah, Umai akan memelukku  dan bersedu sedan haru atas kedatanganku. Sedangkah Apa yang selalu berlaku keras kepadaku akan berdiri dekat jendela  ruang tamu, tersenyum bangga sembari menyisir jenggotnya yang terbiar memanjang menyaingi kumis tebal hampir menutupi bibirnya. 

        "Kalau kamu tetap ingin kuliah, silakan. Tetapi Umai dan Apa tak akan membiayaimu." 

   Arakan gelombang air sungai  Kahayan menggantung setengah di kelopak mataku. Larutan asinnya masuk menyusuri kerongkongan dan melumuri jantungku yang terluka. 

       "Baik. Tidak akan apa-apa. Do'akan saja aku Pa, Mai!" 

     "Apa yang kau harapkan, Sie? Nanti selesai kuliah kamu ke dapur juga." Kucium tangan kanannya yang sedikit enggan diulur. Diamku dalam tarikan nafas dalam-dalam. Bibir bergetar dan tangan yang sesekali ku kepal pelan sudah terasa lengket oleh keringat dingin. 

       "Ini ambillah!" kudekatkan telingaku ke arah seorang ibu yang duduk di sampingku. Suara mesin Speed Boat yang kami tumpangi memudarkan hayalanku dan pun menyamarkan suaranya dalam gerak mulut teriak. 

       "Oh tidak Bu. Terima kasih! Sudah kenyang." Kutolak dengan santun nasi bungkus yang Ia tawarkan. Padahal pasukan band bergenderang di perutku. 

       Sudah 3,5 jam berlalu. Sekitar 30 menit lagi lambaian pepohoan dan keruhnya sungai Kahayan yang seakan riuh melihatku akan berhenti sampai kakiku menginjak tanah kelahiranku, Kuala Kurun.

   Speed Boat sudah tertambat di Lanting dermaga. Tetapi, tak ada sambutan. 

         "Tak apa, Elsie. Umai dan Apamu tak tahu kau pulang." lirihku dalam monolog bisu. Aku menaiki tangga dermaga dan sesampainya di atas, ojek adalah pilihan satu-satunya. Sekitar 15 menit, aku sudah sampai di depan rumah panggung dari kayu Ulin, dengan teras sempit di depannya. Rumah tanpa polesan cat. Kuhirup bau tanah pekarangan yang dibalur oleh bebatuan sungai sebesar kepalan anak kecil. 

    "Selamat datang, Elsie." sekali lagi hanya berteman monolog bisu.
         Pintu rumah tertutup. Biasanya Umai dan Apa pergi ke 'lapak jahiliyah’' jika rumah seperti itu. 

         "Assalaamu'alaikum!" 

         Tak ada jawaban.

         "TOK! TOK! TOK!"

  "Orangnya di kantor polisi, Mbak." Uap panasmenyusup ke seluruh tubuhku. 
   "Ya Allah, kamu Mbak Elsie!?" penjelasan panjang x lebar Mas Sulis tetanggaku, tak bisa kutangkap, kecuali kalimat, "Orang tuamu di penjara karena kasus perjudian di rumah.
    Seandainya ada mantan orang tua, mungkin akan lebih baik untukku memilihnya. Tetapi tidak. Mereka tetap orang tuaku. Walau dulu mereka sering menelantarkanku, hingga makan kadang hanya dari welas asih tetangga.  Walau selama ini menjadi babu di rumah orang tua angkatku selama kuliah. Tak apa-apa, aku ikhlas. Hanya saja, kumohon Umai, Apa. Cukuplah untuk semua sakit ini.


BEDAK DINGIN
Cerpen Mini Zhema

      BEDAK dingin itu usianya sudah tiga tahun. Sengaja Seba pajang di lemari kaca transparan, tempat penyimpanan makanan di dapur. Hingga, setiap kali dia berseliweran di sana ia akan ingat pemiliknya. Seorang wanita tercantik di dunia dengan ciri khas wangi yang selalu dirindukan. Kini pemiliknya sudah berpusara karena Diabetes. Koleksi gula yang tersesap diraganya akibat selalu menyayangkan sisa-sisa makanan dan minuman bergula.
 “Mai, jijik ih. Itukan sisa tamu!” peringatan anak gadisnya jika sedang memergoki.
 “Sayang jika dibuang, kau tak tahu perjuangan Umai dan Abah hingga bisa hidup berkecukupan seperti sekarang ini.” Jika demikian Seba hanya memilih diam, kisah yang disampaikan Umai pada anak-anaknya menyisakan biru di hatinya. Serba kekurangan, gula saja tak mampu dibeli. Tetapi, haruskah pembalasan keadaan itu dengan cara demikian? Ingin sekali ia selami ruang hati Umai yang dalam sekali untuk bisa dianalisa.
    “Ini apa? Kenapa tak dibuang kalau tak dipakai?” Kak Hasmi, suaminya sudah faham sekali kelakuan istrinya. Seringkali membeli segala jenis barang, namun sedikit yang dimanfaatkan. Seba bersyukur sekali. Meskipun Kak Hasmi seorang yang tegas dan tidak romantis, dia lelaki yang baik hati dan saleh. Lisannya bisa dirangkai tak menyakiti.
 “Jangaannn, Kak!” dia bergegas menghampiri suaminya dan merampas kemasan bedak dingin di tangannya.
 “Ini tak BOLEH dibuang!” tekanan suaranya sedikit menghentakkan kesadaran suaminya. Ekor matanya memanah ke wajah istrinya yang tersengal-sengal dengan roman yang ia juga faham. 
 “Wah..! Kenapa menangis, Ding?” ia usap bulir bening yang luruh dari mata istrinya.
 “Ini milik Umai, ini satu-satunya peninggalannya yang dapat mengingatkanku akan wangi khasnya.” Rambut itu diusap oleh suaminya.
 “Ya udah, jangan nangis ya, maaf!” 
 “Pakaian beliau boleh saja disedekahkan ke orang lain, tapi ini tidak! Tidak juga untuk dibuang.” ingatannya mengawang pada kenangan masa kecilnya. Setiap selesai mandi, bedak dingin itu selalu dimaskerkan Umai ke wajahnya dan wajah mungilnya agar kembaran. Kata Umai, bedak dingin adalah pemelihara kecantikan kulit wajah wanita Dayak Ngaju. Isak Seba menjadi-jadi, hingga pelukan Kak Hasmi akhirnya dapat menenangkannya.


Keterangan : Umai (bhs. Dayak Ngaju artinya Ibu). Ding (bhs. Banjar artinya Dik)





Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Real Dead People

"I see dead people"--The Sixth Sense Ambling! Hustling! When my soul wandering all the lands and oceans, My wings couldn't stop peace on them for long: scared. None of the people I met had normal eyes, Their skin were pale, "Hey, buddy! Look at me!" I shouted to them but silent I gotten. For the second thought trying, "Hey, sweetheart! Look at me!" I shouted to them, they stopped walking; Stepped closer emotionless. Trembling feelings in my legs, Then the heart beating hard, "What's going on to these people?" I threw a spear from my eyes, One of the beautiful girls said, "Bring me back to life, please?" Hence, my body and soul awakened. I sat on the park bench and thought, Hugged myself tightly, There, roughly ten o'clock position from me; car crashed sounds. I rushed and found a cat, bleeding on the asphalt road, "Just throw it in the garbage bin, dude" he said. My teeth chattered: hea

Your Wound Will Be Healed

"Why take any longer The feeling's getting stronger No, I can't wait. I can't wait anymore! Cause Today Is Yesterday's Tomorrow"--Michael Buble Standing squarely before my mirror, I ask you as the shadow of mine, How could you pretend smile? Meanwhile, your open wound uncleaned; Yellowish-red, To strive, to seek and find a bandage. Please one step ahead! 'Don't expel me' you said, We need to go to the library, Finding a book of God's: Beautiful in cover, light you heart, Thus, you will forget me. No! Dear, I can't stand it, Without you i'm nothing, Everything is blue. Don't hate me! Cause you cannot go alone, I know the feeling's getting stronger, Just stay here, your wound will be healed: I love you. ©zhema

Tuan Hati

Puisi Zhema Berdiri di jembatan angkat Kota Tua Berjebah segala kapal jauh akan melewatinya; Hanya satu yang kutunggu, dia si Tuanhati Menjanjikanku untuk cuat pinangan. Hari-hari ini atau masa depan. M-7 dalam deret morse namamu: Raihlah tanganku segera! Ya Tuhan, benda-benda tanpa kabel itu! Meruntuhkan batas tembokku, Tanpa ampun, tanpa waktu luang, Dia menarikku paksa ke dalam cintanya. Aksara indah tak semerta milik pujangga, Ia luruh dalam cinta sepasang kekasih; Yang simpuh di atas sajadah kembar (jambu merah dan biru berplankton) Tuanhati, datanglah dengan kapalmu! Berdirilah di STEM bergeming dan gagah, Agar mataku hanya menangkap objekmu. Pun, biarkan dunia tahu, Keciutan hati bukan caramu, Katakan pada mereka cincin tersimpan: Berkemilau,indah dan hanya milikku. Ya Tuanhati! Ambillah Visa, Bentangkan layar kapalmu pulang! Sambangi aku dalam gaun putih, menetaplah. Suara Camar dan bunyi rebana adu ceria; Seakan engkaulah putra mahkota, Mereka