Lahir dengan latar belakang suku Dayak Ngaju yang terkenal lugas, serta berasal dari keluarga berlisan tajam. Bukan berarti saya tak memiliki sisi lembut sebagai wanita. Hanya saja saya tak piawai menggunakan gemulai intonasi dalam berbicara. Terkesan apa adanya, sulit menyembunyikan perasaan suka dan tidak suka meninggalkan luka di hati lawan bicara. Lantas wajarkah perilaku ini?
Jawabannya bisa iya bisa tidak, tergantung orang lain yang menilai. Kalau dia terbiasa dengan karakter lugas, maka hal ini wajar. Namun, akan sangat sulit jika menghadapi masalah dan halus, meski dia seorang laki-laki. Hal ini bisa menjadi perkara. Seperti yang terjadi baru-baru ini yang saya rasakan. Niat hati hanya menjalankan tugas dan fungsi saya sebagai Wakil Bagian Kesiswaan, namun reaksi target di luar dugaan. Saya dibalas dengan ungkapan yang seolah-akan saya ini superior dan menyalahkannya. Sebenarnya murni salah praduga. Padahal saya pernah menjelaskan bahwa sikap saya seperti ini berlaku untuk siapa saja. Entah mengapa hal ini sulit dia terima? perbedaan itu seperti pelangi yang langit? Saling melengkapi dengan warna tak sama, namun indah ketika berpadu? Yah, terlepas siapa yang salah dan benar. Saya memutuskan lebih dulu haturkan maaf. Sebab kata "maaf" mampu mendamaikan dunia. Iya kan? Ah jadi ingat DramaMeteor Garden nih haha.
Baik, itu kasus pertama dalam tulisan ini. Sekarang kita coba ke latar lain memori akal saya. 3 tahun yang lalu saya merasakan lawan bicara saya menantikan rona kecewa akut. Pun seperti di atas, dia seorang lelaki berhati lembut dan halus bahasanya. Tetapi, seketika itu juga dan kewibawaannya sebagai mentor saya di dunia berani selama ini semakin menipis di hadapan saya untuk waktu yang lama. Kau tahu kenapa? Hanya karena
saya menarik diri dari pembicaraan yang saya khawatir akan membelokkan prinsip
saya saat itu. Walaupun obrolan terjadi di tempat terbuka dan banyak orang,
senantiasa tembok peringatan status saya yang telah bersuami mematri. Saya
akhirnya memilih berbicara dengan mereka yang berjenis kelamin sama. Tak
dinyana kekecewaan nampak di wajahnya,
"kok wanita ini tidak sopan? " mungkin pikirnya. Saya tidak
menyesal, karena seyogyanya sikap saya demikian.
Kasus ketiga, seorang senior yang saya hormati di komunitas
trainer. Menampakkan kebaikan dan keramahan dengan pertanyaan-pertanyaan secara
antusias dilontarkan perihal prinsip saya sebagai Muslimah bercadar kala itu.
Saya jawab sewajarnya dan tidak ingin berbelok ke pembicaraan yang subhat
(meragukan). Ujung dari keramahan itu memandu tangannya untuk mengklik tombol
tambahkan teman di platform Facebook. Voila, saya tak menerima permintaan
pertemanannya, bukan sombong melainkan saya hanya berteman dengan wanita saja
di sana, selain suami dan keluarga kandung, serta anak-anak saya sendiri.
Tetapi, semenjak itu dia menunjukkan perilaku tak enak dipandang ketika
berbicara di forum dengan saya kembali. Saya abaikan karena memang sepantasnya
demikian.
Lebih lanjut, mungkin ada juga kasus kekecewaan orang lain
ke saya yang mungkin saya tidak ketahui di luar sana. Tetapi, satu hal yang
mesti disadari olehmu, bahwa ada batasan-batasan prinsip saya yang tak boleh digoyahkan hanya karena hal-hal seperti di atas.
Semestinya pula jika selama ini kau menganggap saya sebagai pemilik hati
yang penuh kasih sayang dan baik, maka enyahkan sisi sensitifmu. Berlaku
wajarlah kepada saya. Ketahuilah prinsip-prinsip wanita Muslimah membuat saya
seperti ini, selain sebab latar belakang budaya tumbuh kembang. Pun Lugas bukan
berarti ganas ya smart people. Ini refleksi kejujuran nurani yang
transparan. Bukan berarti kami tak mengerti cara menghargai dan mencintai,
justru kasih sayang kami luas melampaui ekspektasimu. Yea yea yeaaa! Cherio!
WELL PREPARED, JANGAN ASAL IKUT LOMBA!
Palangkaraya, 18 September 2021.
Itu adalah self reminder untuk diri saya sendiri terutama. Mengikuti ajang Guru Prestasi mewakili Kabupaten Gunung Mas di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah, terlampau wah untuk ukuran persiapan cetek saya kali ini. Entah mengapa kala Bu Serie,M.Pd. pengawas SMA Kabupaten Gunung Mas membagikan surat undangan Kadisdik Provinsi Kalteng di WA grup iNFO Kasek SMA Kahut berkaitan Lomba Gurpres/Kepres tingkat SMA/SMK saya langsung tertarik mendaftarkan diri. Padahal belum memiliki ide mau angkat Best Practice apa.
Bukan niat ingin merundung
diri sendiri, namun sungguh sadar sedari semula bahwa untuk mengikuti ajang
ini, saya belum siap 100%. Why? Data valid pendukung tak
banyak, hanya menggunakan indikator "kehadiran" peserta didik dan
objek lain yakni Guru-guru SMAN-1 Kahayan Hulu Utara dan Guru-guru Kalteng yang
pernah saya latih di beberapa kegiatan online. Terlebih lagi
keciutan mulai tercipta ketika mengkonsultasikan ke pembina Best
Practice saya, yakni Pak I Ketut Sukajaya. Beliau saat itu
sudah menganjurkan saya ganti judul, karena judul yang saya angkat terlalu
melebar untuk dijabarkan dan kesannya lebih cocok untuk Best
Practice seorang Kepala Sekolah. haha! Okay, saya anggap Pak Ketut
sedang mendoakan saya. Peace Pak! Baik kembali ke cerita. Saya
tetap keukeh karena menurut saya Best Practice itu
adalah Pengalaman Terbaik yang benar-benar berhasil dilakukan, apalagi formula
judul itu dipilih dan dikunci sebagai Karya Ilmiah bukan tanpa alasan. Komponen
kata kunci di sana saling terkait, tak bisa dipisahkan dan tetap konek ke kata
kunci topik dari panitia penyelenggara Gurpres, yakni "Profesionalisme
Guru dalam Pembelajaran".
Biar lebih
jelas saya keluarkan dulu judulnya, "Pengalaman Terbaik Meningkatkan
Profesionalisme Sebagai Guru Dengan Kemampuan Teknologi Informasi dan Menulis
Buku Ber-ISBN. Kata kuncinya adalah "TI dan Buku Ber-ISBN, " Di
sini saya tekankan bahwa keduanya adalah satu tubuh. Jika kita kaitkan dengan
isi UU No.14 Tahun 2005 pasal 8 poin terakhir dari penjabaran Kompetensi guru
yang ketiga dari 4 (pedagogik, kepribadian, profesionalisme dan sosial). Isinya
begini, "Guru mampu menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi
dalam Pembelajaran dan Untuk Pengembangan Diri. " Di sini,
perhatikan kata Guru, TIK dan PD. Mereka saling terkait bukan? Nah, saya rasakan
3 in 1 ini membersamai keberhasilan yang telah dirasakan dalam pembelajaran
daring di SMA Negeri 1 Kahayan Hulu Utara, tempat saya mengabdi sekarang ini.
Lagipula saya yakin
bisa dengan judul ini, karena berkubu dengan pernyataan para ahli mengenai
"profesionalisme" di relasio.com, "profesionalisme mendefinisikan
diri mereka sebagai atribut yang dipakai dalam melaksanakan tugas supaya sesuai
dengan standar kerja yang diinginkan." Sekali lagi, pernyataan
ini merujuk ke UU tersebut di atas. Lihat kata kunci "atribut" dan
"standar kerja". Seorang guru adalah atribut dan standar kerjanya adalah
memiliki 4 kompetensi yang tadi saya sebutkan pula. Kali ini kita coba buat
rumus ala-ala guru non Matematika atau turunannya.
Diketahui:
Profesionalisme =atribut yang dipakai (a nilai 1)
Atribut= Guru (b nilai 1)
Pemakai=Pemerintah (c nilai 1)
Standar kerja=menguasai 4 Kompetensi (Pedagogik, Kepribadian,
Profesionalisme dan Sosial, nilai 1)
Peserta didik=f nilai 1
Rumus: a+b+c+d+f=total. Menjadi 1+1+1+1+1=5.
Nilai ini kita sebut nilai Mantap.
Namun, jika salah
satu nilai dari huruf tersebut tidak ada, misalkan (-1) , maka nilai hanya 4.
Jika 1 saja komponen kosong, ini sudah urgen. Maka, Sama halnya ketika kita
hilangkan 1 huruf dari kata "mantap", sebut saja huruf "p",
maka yang ada hanya kata "manta", dalam bahasa Dayak Ngaju
"manta" itu mentah. Heheh. Sorry, saya hanya sedang berkelakar,
jangan dibawa serius. Walau ada kebenaran dalam ilmu Cocokologi tersebut.
Intinya saya hanya
ingin menegaskan ide saya pada formula judul tersebut, bahwa mereka itu 3 in 1.
Semua untuk satu, satu untuk semua. Please, jangan pisahkan mereka
hiks! Karena di kata TIK ada "komunikasi" Dan komunikasi ada lisan
dan tulisan. Tulisan lebih baik dari lisan, karena dia tak terbatas ruang dan
waktu dan bisa menyampaikan ide apa saja yang tidak bisa tersampaikan secara
lisan. Oleh karena itu jadilah seorang siswa, guru, atau siapa saja sekaligus
penulis. Karena, seorang penulis tidak semerta-merta bisa menulis jika tidak
banyak baca. Banyak baca artinya bisa pintar. Jika hal tersebut ada diimbaskan
ke Peserta Didik, Guru-guru SMAN-1 Kahayan Hulu Utara dan Guru-guru di
Kalimantan Tengah, maka tujuan kurikulum berhasil kan yak?
Anyway, kurikulum yang cocok untuk tulisan saya ini "merdeka
belajar" kan?Haha. Bahkan saya bicara ke sana kemari untuk mencari
kecocokan.
Lanjut. Jika seperti yang juri-juri yang menilai menyebutkan idenya banyak dan tidak fokus, ada benarnya juga kalau dilihat dari kasat mata. Apalagi beda rambut dan kepala, jadi wajar beda pemahaman. Saya juga mengakui pengetahuan saya seputar dunia pendidikan dan segala pembaharuan di dalamnya belum dikuasai dengan baik.Tetapi, saya berhak kan menampakkan kegigihan menangkis pertanyaan-pertanyaan luar biasa kalian dengan argumen super? Eh Pede abis gue? Hehe! Lha iya kenapa juga tidak Pede, apalagi pujian-pujian maut Juri sungguh manis-manis pahit di ujung, "Tulisan ibu luar biasa dan pengetahuan ibu akan TI juga patut diapresiasi, tetapi ibu tidak fokus pada satu hal. Itu saja menurut kami."
Sebenarnya, saya sudah menduga akan ada
pertanyaan-pertanyaan super begini ketika sebelum berangkat ke Palangkaraya.
Saya juga sempat curhat ke suami dan sobat saya Bu Dessy
Analinta bahwa saya minder kali ini. Mereka membalas dengan menyuguhkan
vitamin moril ke saya, bahwa saya bisa. Saya akhirnya pantang mundur. Selain
mereka, yang mendukung saya ada Ketua MKKS Kab. Gunung Mas, Pak Suwandi,
S. Pd.,M.M. Pengawas SMA Kabupaten Gunung Mas, Bu Serie, M.Pd dan Kepsek
saya sendiri, Pak Sutrisno, S. Pd. Jadi, malu lah saya jika ciut
nyali haha.
Well, menang-kalah sudah lumrah dalam
sebuah Lomba. Pun pernah juga merasakan sebagai pemenang jadi tak mengapa saat
berada di posisi kalah. Semua sudah tertulis di Lauh Al Mahfuz. Eit, tadi
niatnya mau menutup tulisan ini, namun ada satu hal yang ingin saya ceritakan
sedikit. Best Practice itu sebenarnya sudah saya buat judul lainnya dan
di acc Pak Ketut, hanya saja saat mau mengumpulkan data, saya
tidak memiliki hasil yang saya inginkan. Ya bisa saja saya manipulasi data
dan membuat grafik keberhasilannya berdasarka jn melihat langit-langit rumah.
Tapi tidak, guys! Saya malu bertemu Allah Ta'ala kelak di akhirat dan saya
takut akan azabNya. Untuk apa menikmati kenikmatan sementara di dunia ini, jika
di akhirat tersiksa dan miskin. Saya masih yakin, segala sesuatu ada hikmah. Next
time, buatlah segala sesuatu secara terencana dan konstruktif. Serta janganlah
ikut Lomba semacam ini jika tidak siap dengan baik. Harapannya bukan karena
hadiah atau gelar wah di dunia tujuan utamannya, dedikasi dan
profesionalisme kita sebagai The real teacher yang harus kita
lakukan. Agar generasi Indonesia benar-benar berkahlak mulia dan berintelektual
mumpuni.
Salam sehat!
Kompak Bergerak, Berkah Berdampak! 💪🏻
JODOH
GAGAP; SIGAP DAN DEKAP
SAYA BUKAN MANEKIN: Kecerdasan Emosi
DEMAMKU DI MASA WABAH PANDEMI COVID 19
KENANGAN
Kemarin petang, seperti biasanya jemari di sela-sela rutinitas sebagai IRT pasti mengembara ke dunia Instagram. Selain sekadar menonton mukbang gila-gilaan, aku juga iseng kepo dunia pernikahan artis hijaber dan fokus ke Cut Meyriska dan Roger Danuarta. Awal reaksiku biasa alias datar, hingga pada saat Cut Meyriska yang tengah mengandung, membuat caption di salah satu fotonya bahwa dia sangat merindukan suaminya yang tengah melakukan ibadah umroh di tanah suci Makkah, aku menangis seriosa.
Di sana, kupanjatkan pada Ar Rahman agar aku dikaruniakan buah hati sebagai teman dan alhamdulillah dikabulkan. Selama enam belas minggu akupun tidur mengenakan baju koko ini. Sungguh enggan kucuci agar wangi tubuh suamiku selalu ada walau lengannya semakin memperlihatkan corak pulau dari bekas genangan bening mataku. Sungguh memori yang tak 'kan beranjak.
"NUT! NUT!"
Maa Syaa Allah! Dalam rendaman rasa, dia pun VC, seakan suasana hatiku terkoneksi tanpa hambatan padanya. Kuusap wajahku yang terlihat kuyu, sungguh kadang merasa kalut jika ia melihatku tanpa make up. Bukan karena apa-apa, namun lebih kepada haknya melihat istrinya selalu enak dipandang. Ingin selalu belajar memantaskan diri menjadi istri salihanya. Selebihnya, karena terkadang iba menerpa. Seandainya dia memilih salah satu dari para wanita itu yang memiliki kedudukan dan profesi bergengsi dulunya, mungkin dia tak 'kan merasakan berjuang dari 0 bersamaku. Dia tak 'kan dihina karena mencari nafkah apa saja yang penting halal. Dia mungkin saja sudah menjadi pejabat dengan pendidikan tinggi yang ia peroleh serta tawaran yang menggiurkan saat itu asal ia mau menikahi wanita lain. Ya Rabb, barokahi lah rumah tanggaku, suamiku dan anak-anakku. Karena wanita ini bukanlah siapa-siapa, hanyalah sebiji sawi kecil tak terlihat pun sangat sederhana.
#menulis
PENCULIK?
Itulah terlintas di kepalaku saat mendapatkan anak remajaku yang pendiam ternyata nakal dan pemberontak. Rotan pemukul kasur sudah kucanangkan kan memeronakan kedua betisnya jika ia pulang ke rumah nantinya. Tetapi tidak, aku urungkan cara ekstrim tersebut. Aku ingat dalam agamaku, anak harus dimuliakan agar dia benar-benar mulia. Pasti ada cara lain untuk mengatasinya. Ini masalah biasa yang dihadapi semua orang tua di era serba digital ini. Bagaimana Handphone, Playstation, Warung Internet pelan-pelan memutarbalikkan arah kaki anak-anak remaja yang sedang mencari jati dirinya dari sekolah ke sana. Sehingga, otak mereka berhalu akut dan berdusta menjadi hal biasa bagi mereka. Itu pula yang terjadi pada anak remajaku, Haikal.
Suatu hari ia katakan tak kuat (bosan) sekolah agama yang berasrama dan ketat peraturan bak wamil (wajib militer) nya. Acapkali keluar tanpa izin keamanan asrama dan sering diberikan hukuman, namun tak pernah jera. Aneh bin lucunya jika ditanya bagaimana dia lolos dari pos keamanan, dia jawab "aku berjalan lurus saja." Well, aku tak mempersoalkan hal itu mengapa bisa tak terawaskan pihak keamanan asrama? Karena jumlah siswa yang ribuan memang bisa saja luput dari pengawasan. Walau demikian, tak ada pembenaran atas apa yang iya lakukan. Salah tetaplah salah. Padahal, tak kurang nasehatku maupun ayahnya padanya. Dari yang lembut sampai ala-ala kompeni tetap saja berepisode kenakalannya.
Ketika kemarin kululuskan kehendaknya berhenti sekolah di sana, aku berniat tak meletupkan emosi berlebihan. Beberapa kali ia ucapkan bahwa ia sudah besar dan bisa jaga diri. Ia juga perjelas tetap sholat 5 waktu di luar sana dan tidak melakukan hal yang merugikan, ini hanya masalah "tak kuat dengan peraturan". Baiklah, akhirnya cara dewasa dan ala sahabat, aku pun berbicara 4 mata dengannya secara santuy di meja makan dapur rumah. Alhasil dengan cara sahabat dan santuy pula Hp nya aku sita. Mulus dan lembut. Ia rela dan pun berjanji akan melanjutkan sekolah di kampung dengan membawa jati diri yang baik. Okay anakku yang shalih dan santuy, let's see then ya!
#anakremajakekinian
#pencarianjatidiri
#cintaemak
#emakpejuang
Komentar
Posting Komentar