PENYAMUN, PEDAGANG DAN SANG TIRTA
Cerpen Mini Zhema
Tirta bersiul, terkadang menyipratkan dirinya ke beberapa penghuni Sungai Kahayan yang tak memedulikannya. Ia berlalu dan memutuskan singgah sebentar, menyapa sekerumunan ikan Bilis yang sedang bersidang di helai-helai daun Kumpai pinggir sungai. Ia kabarkan sumber makanan yang banyak di hulu sana, mereka harus gegas sebab sebentar lagi air di sini akan memerah dan berbau metalik.
"Tarima kasih are, Wal. Tapi je tarakhir te nampaos ih dawakuh!" Salah satu di antara Ikan Bilis yang terlihat menonjol di antara yang lain terbahak-bahak, disusul yang lain bak dikomando.
"Aku hanya berkewajiban menyampaikan pesan, jika kalian percaya atau tidak bukan hal yang perlu kurisaukan setelahnya." Tirta nampakkan wajah tanpa mimik. Namun, kata-katanya mampu membuat Bilo, yang diketahui sebagai pemimpin Ikan Bilis itu ketar-ketir dalam pendiriannya.
"Eh, benyem! Yo hanangui kan ngaju ih itah!" Bilo memimpin pasukannya berenang ke Hulu dengan tergesa-gesa.
Di atas sana, langit mulai muram. Gemuruh beradu terpecut cambuk sang Malaikat Allah. Derai hujan mengguyur Bumi Tambun Bungai dengan derasnya. Di sebuah Klotok berlangitkan Terpal biru tebal, ada dua gulungan barang memanjang di sudut Haluan dan Buritan. Tak berapa lama sepasang kaki tanpa alas dan kuyup merangsek ke bagian tengah Klotok. Si pemilik raga menyeringai, "Pucuk dicintai ulampun tiba." Ia gumamkan dengan penuh kepuasan. Terpenuhi kali ini ia kumpulkan harta rampasan. Saat ia terlena dengan ketamakan.
"Arg!" sebuah belati dengan asahan sempurna ditancapkan tepat di punggung sebelah kirinya. Ia terhuyung. Darahnya mulai berhenti mengaliri otak dan setiap bagian tubuhnya. Rasa sakit yang teramat sangat, hingga ia pun tumbang dan celebuk ke air yang seakan tidak sudi dengan jasadnya. Kali ini Tirta benar, sungai yang jernih tempat para bidadari surga mandi itupun memerah oleh darah si penyamun.
Hujan semakin deras, suaranya seakan meneriakkan bahwa penduduk desa harus melihat si korban. Namun, godaan lelap di pagi itu sungguh tak bisa ditawar-tawar. Jangankan memandang ke arah sungai, bergeser sesenti dari tempat tidurpun mereka rasakan rugi.
Waktu bergulir dari jam ke jam berikutnya. Hingga terendus kasus pembunuhan itu ke pihak berwajib di ibukota Kecamatan. Mereka gegas investigasi, sampailah pada kecurigaan dengan dua pedagang perantau. Merekapun diperintahkan untuk berendam di Sungai Kahayan hingga matahari pamit ke Barat. Tetapi nihil, pernyataan mereka atas pihak yang bertanggung-jawab untuk kasus itu tidak ada. Kasuspun ditutup.
Di malam hari saat rembulan biaskan cahayannya ke permukaan air sungai, Tirta bersiul perih, "Keadilan itu jangan ditanyakan! Sebab, mulut yang berbusa untuk minta perlindungan dari para penyamun, kalian diam seribu bahasa. Jadi, biarkanlah sang alam bersatu menuntaskannya!" Semilir anginpun mengembalikan Tirta kembali pada hakikatnya, yakni menjernihkan segala kotoran dosa.
Keterangan Bahasa Dayak Ngaju:
1. Tarima kasih are, Wal. Tapi je tarakhir te nampaos ih dawakuh!
(Terima kasih banyak, Kawan. Tapi yang terakhir omong kosong kiraku!)
2. Eh, benyem! Yo hanangui kan ngaju ih itah!
(Eh, diam! Yuk berenang ke hulu saja kita)
3. Ikan bilis (Ikan teri air tawar)
4. Kumpai (rumput liar di pinggir sungai, biasanya untuk pakan sapi)
Selesai
BIIDZNILLAH, NIKAH RANDOM!
(Sekuel)
Cerpen Zhema
Mata Lika nanar memandang keluar kaca
jendela kamar yang terbuka sedikit di bawahnya. Semilir angin yang seharusnya
ia rasakan syahdu, telah menghempas-hempas tirai pun rambut dan seluruh pakaian
yang ia kenakan dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Bahkan, kaupun turut bermuram durja" Bisiknya pada hembusannya yang sedang bersiul lirih."
Aku hanyalah refleksi hatimu, Lika. Jika kau bahagia maka aku adalah oksigen bagi napasmu. Namun sebaliknya jika kau bersedih, maka atmosfer hatimu bergelayut Karbondioksidaku. Sehingga akan dapat meruam di sel-sel darahmu." Ia tertunduk dalam kosong sembari memanah pandangan ke arah undangan pernikahan di atas meja kerja Lika. Seperti yang ia ucapkan bahwa apa yang wanita itu pikirkan dan perbuat akan sama dengannya.
Lika beranjak dari titik ia berdiri menuju lembar kertas tebal berwarna pink berplastik. Ia buka sekali lagi dengan tangan gemetar. Setiap detik akalnya dikacaukan dengan bayangan tuk membuangnya ke bak sampah. Tetapi kenyataannya tidak dilakukan. Ia tahu melakukan hal itu sama saja melemparkan sisa cinta yang masih bersemayam di hati untuknya.
Abizar
Rahman dan Hernita Lelga
Lika sunggingkan senyum namun di ujung
matanya, bening itu membumbung dan meluapkan kebiruan hati.
Selamat Mas Abizar. Akhirnya
kau menemukan belahan jiwamu yang selama ini kau nantikan." Tak ia sadari
undangan tersebut menjadi basah sampai huruf & membentuk pola abstrak di
antara nama mempelai. Ia pandang kaca cermin di sebelah kanannya yang
memantulkan bayangannya sendiri.
Sementara nun di sebuah kamar yang sudah dihiasi pernak-pernik pengantin oleh Wedding Agency, nampak sepasang mata oriental kini begitu sayu. Setiap mereka yang lalu lalang di dekatnya menyapa, dia berusaha menyembunyikan ekspresi wajah sesungguhnya. Raganya bisa saja menjadi milik wanita lain tetapi tidak dengan hatinya. Akankah dia putuskan hal ini matang-matang? Memilih menikah untuk menghindar sesaat dari Zulaikha? Wanita yang ia cintai selama ini dalam diam?
Saat ia tenggelam dengan
pikirannya sendiri, seorang laki-laki hampir paruh baya duduk pelan di sisinya.
Tatapannya sama seperti calon pengantin laki-laki, menyapu seisi ruangan yang
sudah disulap bak peristirahatan seorang Raja. Bedanya, sedari tadi ia
tampakkan senyum, tidak seperti sosok di sebelahnya yang mirip kertas kosong.
Hilang separuh nyawa.
"Le, bapak lan ibu biyen nikah tanpa tresna. Nanging suwe-suwe rasa tresna mau tuwuh kanthi alami. Saling nglengkapi lan butuh, barang sing luwih aji tinimbang apa wae." Ia tertegun dan menoleh pelan ke arah laki-laki di dekatnya.
"Njih Pak. Tapi kulo...
"
"Nuwun sewu, Nggih. Permisi,
Mas Abizar. Kita coba fitting baju mantenannya dulu ya." Mbak Retno, yang
pun bertindak sebagai Mua di pesta pernikahannya nanti menghampiri dan memotong
pembicaraan mereka. Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi hanya menjalankan
tugasnya saja. Apalagi bookingan rias
pengantin di buku catatan digitalnya begitu rapat seperti barisan semut
Rang-rang.
"Oh iya Mbak." Abizar
menunjukkan takzimnya kepada bapaknya dan beranjak ke bagian kamar yang di
depannya ada meja rias. Tak berapa lama punggungnya ditepuk-tepuk dari arah
belakang oleh sang bapak. Sebelum ia berlalu pergi menemani para tetangga yang
sibuk membantu persiapan pernikahan. Arti tepukan yang maknanya dalam sekali.
Tak sulit baginya membaca gestur anak sulung tercintanya, namun tak banyak yang
dapat ia bantu untuk saat ini. Ia percaya Abizar mampu mempertanggungjawabkan
perasaan dan tindakannya sendiri.
Pantulan Abizar di cermin
menguraikan senyum kepada bapak. Seakan-akan telah mengutarakan seluruh gulana
hati yang tertunda ia sampaikan dalam modus telepati.
"Mas Abizar.. huh
huh!" Seorang gadis remaja berlari ke arahnya dari arah luar terengah-engah. Di tangannya ada sebuah HP Android dengan layar
menyala.
"Tarik napas dulu, jangan
tergesa-gesa." Abizar mengacak
rambut ikal adiknya yang wajahnya mirip sekali dengan Ariannha, anak artis
Krisdayanti. Ia tersenyum lebar, hal yang paling ia sukai dari Mas Abizar
adalah mengacak rambutnya. Walau hal yang sama tak pernah ia izinkan kepada
siapapun bahkan ibu.
"Ya Mas. Hehe."
"Siapa?""
"Mbak Nita." Ia serahkan HP itu ke Abizar, kemudian berlari dengan ceria ke ruang keluarga menemui ibu yang sedang mempersiapkan srah-srahan untuk keesokan hari. Pernikahan itu sedikit berbeda dari kebanyakan. Hernita sudah tidak memiliki ayah, sedangkan ibunya memiliki saudara kandung yang rata-rata merantau ke Kalimantan. Jadi keputusan acara pernikahannya di rumah sang pengantin laki-laki. Tetapi proses akan tetap sama, Abizar akan di antar dari rumah Paklik Herman, adiknya bapak. Kebetulan rumahnya hanya berbatas dua gang dari kediaman bapak.
"Halo...!"
"Halo, Mas. Boleh kita bicara empat
mata? Hmm... di Pantai Serang aja ya." Matanya mengerjap-ngerjap, sedang
menahan sesuatu yang seakan enggan berhenti mengalir dari pelupuknya. Hening
beberapa saat, karena Abizar bingung dibuatnya. Bukankah dia sedang dipingit di
kamar sebelah dan tidak boleh keluar? Apa kata tetangga dan orang lain yang
melihat jika mereka sudah berdua-duaan sebelum halal? Abizar semakin dibuat
kebingungan. Namun terpaksa iyakan, sebab Hernita menganggap pertemuan mereka
sangat penting baginya. Untuk menjaga prinsip Abizar ia berjanji akan membawa
mahram bersamanya, namun tetap ada waktu khusus membahasnya berdua saja.
***
"Apa yang ingin kau bahas
denganku?" Suara ombak memecah pantai menyambut mukadimah Abizar. Tatapannya
diedarkan ke laut tak bertepi. Sedangkan di atas sana sekawanan burung Camar
mengitari menantikan mangsa bersirip di dalamnya. Suara angin turut riuh seakan
meneriaki mereka bahwa awan di atas sana bergulung menghitam. Hujan mungkin kan
turun tak lama lagi. Kendati demikian, suasana pantai senantiasa tawarkan
pesonanya. Abizar terlihat menarik napas berat. Pantai merupakan hal yang sendu
baginya, sebab ia mengingatkannya akan Zulaikha. Wanita yang membuatnya seperti
Qais al majnun itu sangat menyukai pantai. Pertemuan pertama merekapun dulunya
di pantai ini dengan tak disengaja.
"Aku ingin pernikahan
kita dibatalkan, Mas!" Seru Nita sembari memajukan kakinya selangkah,
sejajar dengan Abizar. Laki-laki yang ia
cintai itu terperanjat dan refleks mengarahkan pandangan ke arahnya. Sedari
tadi hanya bergeming dan menunjukkan ketidaktertarikan padanya.
"Apa?"
"Iya, kau tak salah
dengar, Mas." Ia sampaikan hal itu dengan mimik wajah tersenyum lebar,
sangat kontras dengan tatapan sayunya. Rambutnya terbiar berkibar oleh sang
bayu. Kemolekan yang seharusnya dibingkai dalam hati siapapun.
"Aku sudah tahu semua
dari Aisyah, adikmu Mas. Tentang wanita yang sampai saat ini Mas cintai."
Entah ekspresi apa yang harus ia perlihatkan. Segalanya terasa tiba-tiba.
"Tunggu dulu, Nita!
Ka...mu tak boleh memutuskan hal ini secara sepihak. Fine, itu masa lalu
aku."
"Itu memang masa lalu
Mas, tetapi aku nggak mau dia selalu membayangi pernikahan kita nantinya.
Lagipula, sampai detik ini pun aku tak pernah merasakan kalau Mas
mencintaiku!" Ia menoleh ke arah Abizar sesaat dan melemparkan kembali ke
arah laut penuh emosional. Hernita melanjutkan curahan isi hatinya di atas nipah
perjalanan kasihnya selama ini dengan Abizar. Bak kayu basah terselimut di
kedalaman salju, tak 'kan bisa di bakar selamanya. Saat itu Abizar menduga
keputusan Hernita hanya karena ia mengalami pre-marriage syndrome. Tak dinyana
gadis cantik itu benar-benar serius memutuskan.
***
Setelah kejadian yang tak hanya
membuatnya malu tetapi juga keluarga besarnya, Abizar memilih kembali ke daerah
tempat ia dulu bekerja yakni Kota Sinar. Kota yang seharusnya ia jauhi. Sebab
di sanalah Zulaikha berada. Namun sebagai seorang laki-laki yang
mengedepankan logika ketimbang perasaan.
Ia tetap pergi. mungkin pula dengan
kealpaan dirinya di tanah kelahirannya, mampu menyembuhkan hati sesiapapun yang
sakit olehnya. Semisal Hernita. Keputusan yang ia pilih bukan dasar keinginan,
tetapi keadaan. Tidakpun niat untuk mundur. Hanya saja cinta satu arah hanya
akan menimbulkan luka demi luka di masa 'kan datang.
Kini, tiga puluh enam purnama
telah berlalu, Abizar melalui hari-hari secara normal. Demikian pun dengan
ujian kehidupannya. Babak kedua di Kota Sinar menjanjikan baginya sebagai
seorang founder NGO Matan Antang Borneo. Sebagai pribadi yang komunikatif,
ramah dan peduli lingkungan, tak sulit baginya membangun relasi terutama dengan
dukungan para donatur dari negara-negara luar. Ia sudah bisa di katakan lelaki
mapan dan sanggup memboyong keluarganya bersamanya.
Beriring waktu, Abizar pun mampu
melupakan Zulaikha. Padahal, bukan sekadar bayangan. Terkadang mereka tak
saling menyadari beberapa kali bersua punggung yang saling membelakangi dari
beberapa jarak. Terutama saat-saat mereka menikmati suguhan alam di beberapa
tempat wisata. Sebab mereka memang memiliki ketertarikan akan suatu hal yang
sama. Itulah dulu terbersit di khayal Abizar bahwa kelak ia berjodoh dengannya.
"Bagaimana, apakah antum
sudah siap?"
"Nggih. Nanti malam saya akan ke rumah ustaz." balas Abizar kepada seseorang di HPnya. Lawan bicara tadi tersenyum dan menutup dengan salam ramahnya. Demikianpun Abizar, dia nampak lega. Dia sandarkan punggungnya pada sandaran bangku panjang Ulin di salah satu tempat singgah wisata air terjun. Kala ia memejamkan mata sejenak, ia mendengar suara anak kecil menangis di dekatnya. Sontak ia melek dan mendapati anak tersebut semakin dekat ke arahnya sembari memanggil mamanya. Abizar menoleh kanan kiri, tak mendapati gerakan para pengunjung di sekitar itu kehilangan anaknya. Semua orang terlihat baik-baik saja. Ia memutuskan untuk mencoba menenangkan dan ternyata gadis mungil kisaran umur 4 tahun itu bisa diam. Ketika sudah cukup tenang, ia menanyakan di mana kira-kira terakhir dia terpisah dengan ibunya, sembari Abizar mengamati lekat gadis kecil berwajah purnama yang nampak familiar di matanya itu.
"Di sana, Om." Jari telunjuknya mengarah ke kanan kemudian ke kiri dengan ragu-ragu. Kebingungannya diakhiri dengan mengerucutkan bibir. Abizar tersenyum geli melihatnya, ia usap pelan kepalanya.
"Namamu siapa, Nak?" "
"Aiyla, Om." Ia edarkan tatapan polosnya ke Abizar. Hati Abizar begitu damai melihatnya, apalagi bulu mata lentik itu menari-nari seperti merak.
"Kamu ngga apa-apa kan, Nak?
"Aiyla baik, Ma. Kalna ada
Om ini! " Ia menunjuk Abizar, sehingga mata sang ibu mengekor arah
telunjuknya pula. Mata keduanya melebar kaget. Wanita itu kemudian menundukkan
pandangannya dengan santun. Ia bangkit dari posisinya dan mencoba berlaku
wajar.
"Apa kabar, Mas?"
Tanyanya mencoba menghangatkan suasana.
"Alhamdulillah baik. Ka...
mu?"
"Alhamdulilah baik, Mas.
Terima kasih ya Mas. Maaf sudah merepotkan." Masih berada di tembok
pertahanannya, wanita itu masih menundukkan pandangan.
"Ah iya sama-sama."
Tak terasa Abizar tenggelam dengan rindunya, ingin sekali ia utarakan
kekonyolan hatinya.
Pertemuan itu tak terduga dan
merekapun tak banyak membahas apapun. Hingga saat wanita dan anaknya itu pamit,
pikiran keduanya masih campur aduk.
"Lika! Hmm...boleh aku
tanya sesuatu?" Abizar berusaha menahan Zulaikha sesaat, sebab ia berpikir
tak 'kan ada kesempatan lagi bertemu dengan wanita itu di kemudian hari. Sebab
sebentar lagi ia akan menikahi wanita lain.
"Iya Mas. Silakan!" Ia
menghentikan langkahnya dan berpaling kembali ke Abizar. Tangannya sembari
menepuk-nepuk punggung Aiyla di gendongannya yang mulai mengantuk.
"Mas Ghazi mana, kok aku
tak melihatnya bersamamu?" Abizar
tak memiliki hak menanyakan hal itu, namun dorongan hati paling sudut memaksanya
karena penasaran.
"Oh, beliau duluan pulang,
Mas." Wajah Zulaikha seketika muram. Ia buru-buru pamit sekali lagi dan
meninggalkan Abizar yang tak mampu melanjutkan kata-kata. Hipotesisnya
bertransisi, bagian keliru adalah menduga suami macam apa meninggalkan istri
dan anaknya di tempat itu. Apalagi seperti kejadian tadi. Bagaimana jika anak
sekecil itu bertemu orang jahat dan lain sebagainya? Kalau saja ia di
posisinya, hal itu tak akan terjadi. Ia kepalkan tangan dan gigi gerahamnya
gemeretak pelan. Seharusnya rasa yang telah mampu disapu dari hati itu tak ada
makna, namun entah kenapa setiap melihat kehadiran Lika, Abizar tak berdaya.
Bahkan jiwa untuk melindungi wanita itu tetap ada. Kilas balik di memorinya
sangat jelas, ketika beberapa tahun silam Zulaikha pernah disia-siakan
suaminya, tetapi wanita itu tetap bertahan demi komitmen. Padahal dia wanita
yang mandiri, tanpa laki-laki itupun ia mampu menafkahi dirinya sendiri dan
kedua anaknya. Ah wanita!
***
Pada
malam harinya, Abizar memenuhi janjinya untuk bertemu Ustaz Zaid. Teman shalih
yang selalu mengingatkannya akan kebaikan dan nasihat-nasihat agama selama di
Kota itu. Akan purna ketidakpastian cintanya kepada Zulaikha, bersama keputusan
yang ia ambil malam ini yakni memilih calon istri secara random.
Bulir keringat mulai menyembul
dari kedua pelipis Abizar. Terasa hening, sebab di rumah itu hanya ada sepasang
suami istri dan seorang bayi yang sedang tidur di kamar. Lutut bergetar dan
telapak kaki hampir berderap ke lantai papan. Sesekali ia bentangkan kedua
tangan ke depan, kemudian mencengkeram kedua lututnya. Ia berusaha untuk
tenang.
"Bagaimana, apakah antum sudah
siap?" Ia tertegun dan memandang ustaz Zaid. Berikut senyum Ustaz
mengembang. Ia mulai membuka laptopnya dan membaca basmallah.
"Silakan diminum kopinya, Mas
Abizar." Si nyonya rumah meletakkan secangkir kopi di atas meja ruang
tamu, tempat mereka duduk sekarang.
"Oh nggih, Kak Hana. Terima
kasih." Ia anggukan kepala sungkan. Aroma kopi yang terhidang begitu
menenangkan, sehingga ia mencoba menyeruputnya seteguk demi seteguk. Kemudian
meletakkannya kembali ke tatakannya, karena Ustaz sudah mulai membacakan 20
profil calon istri yang ia peroleh dari halakah tempat istrinya mengaji.
Profil satu sampai dengan lima ia sangat
konsentrasi, namun menginjak keenam dan seterusnya ia kembali termenung.
Tiba-tiba bayangan Zulaikha terakhir kali mengganggu pikirannya.
"Nomor berapa, akhi?"
Ustaz Zaid jentikkan jarinya, sehingga lamunan Abizar terbuyar.
"No. 7, ustaz." Sejurus tanpa mengulang kejelasan data lagi."
"Akhi yakin?" Ustaz Zaid mencondongkan sedikit badannya sembari menutup laptop. Tak ada yang lebih yakin selain hati Abizar saat itu. Lagipula nomor berapapun ia pilih hasilnya akan sama. Sebab inilah jawaban doa sepertiga malamnya selama ini. Biidznillah, ia menyerahkan yang terbaik di tangan Allah bukan kemauan hasratnya. Sebab sekian kali ia menuruti nuraninya, jodohnya semakin jauh terasa.
"Maa Syaa Allah,
tabarakallah! Baik. Seminggu lagi akan ana infokan ke antum ya." Kembali
Ustaz Zaid tersenyum kepadanya. Sementara di luar sana, gemintang di langit
kerlap-kerlip dengan anggun. Awan tipis berusaha mendekat, menyuguhkan
pemandangan yang begitu mengagumkan. Seakan turut mengaminkan segala doa para
pecinta.
Beberapa bulan telah berlalu. Di
bibir pantai Serang, debur ombak
sesekali menyentuh dua pasang kaki yang sedang menikmati baby moon. Liukan
angin membentuk siluet wajahnya sendiri. Berhenti dengan pelan di hadapannya.
Sebelum ia menuju ketiadaan, ia ucapkan selamat atas segala harap yang telah
menjadi nyata. Sekawanan burung camar yang sudah berganti generasi riuh
membentuk pola tak biasa di atas permukaan laut biru berplankton. Musim di mana
beberapa koloni ikan tak takut dimangsa.
"Sayang, terima kasih sudah
hadir di kehidupanku. Maafkan jika kedatanganku sedikit terlambat."
Bisiknya lembut. Ia peluk wanita itu dengan pelan dari belakang, sembari
mengusap calon buah hati mereka di kandungannya. Wanita itu hanya terdiam bahagia.
Ia pejamkan mata dan menikmati suara kekasih halalnya berbicara. Sekarang ia
memiliki hak untuk menyimpannya di bilik jantung.
"Mas Abizar, terima kasih
juga telah menerimaku apa adanya." Ia lepas pelan pelukan suaminya
dan membalikkan badan. Sehingga posisi
mereka saling berhadapan. Cukuplah tatapan itu membaca segala apa yang belum
diucapkan selama ini.
"Mama! Papa! Abang Zayn
jahat." Gadis kecil itu berlari ke arah mereka. Ia menggerutu karena tidak
diperbolehkan oleh kakak laki-laki nya bermain air di pinggir pantai. Ia lipat
kedua tangannya di depan dadanya dan mendengkus, sehingga terlihat sangat
menggemaskan.
"Aiyla!" seru keduanya
diikuti tawa yang sangat bahagia.
"Cinta tak pernah urai
rencana 'kan berlabuh pada siapa. Terkadang tanpa permisi dan kompromi. Saat
itulah uji ia cinta sejati ataukah ilusi nafsu duniawi."---Abizar
Selesai.
PESAN CINTA DARI POHON MAPLE
Cerpen
Zhema
Melodi terdengar merdu mengiringi beberapa
helai dedaunan maple kuning yang gugur menutupi jalan beraspal di bawahnya.
Kuedar pandangan ke depan sana hingga ujungnya terlihat. Aku menyipitkan mata berusaha
menangkap bayangan seseorang menuju ke arahku. Tak tertangkap jelas, selain
karena bias sinar matahari pagi yang memanah melalui sela-sela dedaunan, pun
tanpa bantuan dua kaca yang biasanya melekat di hidungku. Sesaat kuabaikan dan
memilih menikmati indahnya deret pepohonan yang memagari sisi jalan. Sungguh
keindahan yang memesona. "Crip...crip...crip..." Kuhentikan langkah
sejenak dan memejamkan mata, menikmati tentramnya suara anak burung berkicauan
bersama induknya di dahan-dahan pohon. Ingin sekali aku menari, namun
kuurungkan agar tak terlihat norak. Apalagi aku sangat yakin sosok tadi semakin
mendekat. "Excuse me, Miss. Apakah Miss bisa bantu saya?" Sebuah
suara menepis imajinasiku dari nirwana sejenak. Terdengar tegas namun berwarna
indah. Sebuah suara yang hanya dimiliki lelaki good looking. Dengan pelan
kubuka mata dan benar adanya. Lelaki mengenakan hoodie berwarna abu denim,
tinggi sekitar 178 cm berdiri tepat di hadapanku. Sekilas mataku salah fokus
dengan ransel yang ia bawa di punggungnya. Sepertinya familiar tetapi entah
pernah melihatnya di mana, dejavu.
“Miss...!" Aku tertegun dan mendongak ke
wajahnya. Belum jelas rupa itu kupandang, suara klakson bus lewat dan meniup
dedaunan di jalan ke arah kami. Tubuhku refleks menyamping ke arah bahu jalan.
Sementara laki-laki tadi dengan sigap menamengku dengan punggungnya. Aksi
heroik yang hanya dimiliki seorang atlet bola basket ataupun bela diri
biasanya.
“Are you okay?" Ia mengamatiku khawatir.
Sembari melepas beberapa daun yang lengket di kerudung pashminaku, aku yakinkan
dia bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan. Sepersekian detik kuas di otakku
melukis senyumnya. Serasa ada madu di ukirannya, manis dan bernutrisi.
Bagaimana tidak, jika detak jantungkupun tiba-tiba terasa sangat sehat
karenanya. Walaupun iramanya tak beraturan dan semakin kencang.
“Sorry, is there anything that you want me to
help you?" Aku mencoba mengalihkan rasa. Dia langsung mengingat dan segera
membuka isi tasnya. Terbersit prasangka buruk, aku mundur beberapa langkah. Dia mengeluarkan sebuah pena dan melempar pandang padaku. Kali ini
senyum itu diiringi gelengan ringan.
“Take it easy, Miss. I don't harm
anyone." Walau ada rasa malu, setidaknya tak bermudah-mudahan dengan orang
tak dikenal harus tetap menjadi prinsip. Sekali lagi dia mencari sesuatu di
tasnya, nihil. Dia melangkah ke arahku pelan. Mataku membelalak, tetapi kaki
terasa kaku. Dengan cekatan tangannya mengambil sesuatu di kepalaku. Hampir
saja aku memecahkan udara dengan bahana suara yang kumiliki.
“See...!" Ia menunjukkan benda tersebut
ke padaku yang terlihat masih dalam posisi ketakutan. Tak lama iapun nampak
menulis sesuatu di atas benda tadi, kemudian memberikannya padaku dengan hati-hati.
Dia cukup memahami apa yang sedang kupikirkan.
Kubaca dengan teliti, ternyata dia hanya ingin petunjuk arah menuju kampus di mana langkah kakiku beranjak beberapa waktu lalu. Bisa saja dia langsung utarakan maksudnya, untuk apa repot-repot menulis? Jadi tidak salah jika aku berburuk sangka, apalagi jalan ini sepi dari orang yang lalu lalang.
Itulah awal aku mengenal dia, lelaki misterius yang
sampai sekarangpun aku belum tahu nama dan apa tujuannya saat itu datang ke
kampusku. Jika dia seorang mahasiswa baru pasti tak sulit menemukannya. Apakah
dia hantu ataukah penampakan dari halu semata. Apakah ini tanda-tanda aku harus
ke psikiater? Ah tidak, aku yakin aku masih waras. Tetapi, kalau dia
benar-benar ada pasti keberadaannya hanya secuil ujung jariku untuk menemukannya.
Lagipula bukan maksud menyombongkan diri, kampus adalah rumah keduaku. Aku juga
termasuk mahasiswi aktif di organisasi kemahasiswaan. Ketenarankupun sudah tak
diragukan lagi, bahkan terkadang banyak yang menyapa dan akupun pura-pura akrab
padahal lupa siapa. Namun, siapa saja yang menjadi pusat perhatian aku pasti
tahu. Apalagi dengan fisik yang ia miliki.
***
“Stop it, Abigail" Ia menurunkan kedua
tangan pualamnya dari mataku sembari cekikikan. Kebiasaan yang selalu ia
lakukan. Ia beralih duduk dengan antusias di depanku. Lanjut lengkung bibirnya
terangkat dengan binar mata hazel yang berusaha menembus pikiranku, mencurigakan.
“Pardon me, young lady? What is the crazy
thing you want to do now?" Kupelintir ujung daun Maple di buku agendaku.
"Nothing. Tetapi, kali ini aku ingin
mengumumkan kepada dunia bahwa aku akan melepaskan masa lajangku." Ia
bentangkan kedua tangannya ke atas dengan wajah berseri-seri. Tanpa memedulikan
beberapa mahasiswa lain yang duduk di rerumputan taman kampus seperti kami
merasa terganggu. Bahkan ada salah satu mereka yang sedang melukis di canvas
terhenti sebentar hanya untuk menggeleng kepala. Abigail memang selalu berhasil
meriuhkan kesenyapan dengan suara cempreng dan melengkingnya.
"Sorry you guys!" ucapku sembari
menutup mulut Abigail dengan daun Maple yang kupegang tadi. Abigail sedikit
berontak, tetapi akhirnya menyadari bahwa ia telah membuyarkan konsentrasi
orang lain. Kulepas tanganku kembali dan memeriksa daun tersebut. Syukurlah
tidak robek akibat refleks barusan.
"Sorry!"
Abigail mengekor meminta maaf atas sikapnya kepada seantero taman.
"Coba
jelaskan padaku atas pernyataanmu barusan, Aby!"
"Wait a minute, kamu masih menyimpan
daun itu? Apa kamu sudah gila, Sheila." Ia berusaha merampasnya, namun
berhasil kusimpan ke dalam tas bersama buku agenda.
"Oh my goodness, selamatkan aku Tuhan
dari seorang hoarding disorder." Ia bentuk tanda salib di jidat, pusar
serta dada kiri dan kanan kemudian mengecupnya.
"Abigail...!" Aku menggelitiknya
tak tahan dengan gaya kocaknya.
"Haha!
Tell me why you keep it, dear?" Alisnya sedikit di angkat.
"It's secret! Ah..., oh iya tadi kamu
serius mau menikah?" Kucoba alihkan pembicaraan dan benar saja Abigail
sangat bersemangat menceritakan rencananya. Seorang plegmatis mendadak serius
menjalin hubungan dengan seseorang, rasanya sesuatu sekali. Tetapi Abigail
memang pantas bahagia. Di balik karakter ceria dan jenaka, ia adalah gadis yang
rapuh karena memiliki ayah yang ringan tangan kalau pulang ke rumah dalam
keadaan mabuk. Hingga akhirnya ibunya memilih bercerai demi keselamatan
anak-anaknya.
"So... what about you, dear?" Tak
terasa kisahnya usai, padahal aku masih ingin mendengar lebih lama. Sekarang
aku lebih nyaman sebagai pendengar dibanding menunjukkan keakuan. Bukan pula
pendiam, hanya saja untuk sekarang seperti itu adanya.
"Well, don't worry about me. Aku akan
bertemu dengan jodohku segera. In Syaa Allah." Ucapku yakin dengan senyum
tanpa memperlihatkan deret gigi padanya.
"Ah... apakah kau menunggunya?" Ia
mengarahkan jari telunjuknya naik turun ke padaku. Pertanyaan yang sulit
kujawab, lagipula tidak ada pembenaran atas perasaan yang singgah sebentar.
Katakan saja ini cinta pada pandangan pertama, tetapi apakah layak menantikan
cinta antara nyata dan maya subjeknya?
Memandang Abigail, sahabat sejatiku menemukan pasangan hidupnya saja
lebih dari cukup untukku. Karena ia berhasil memulihkan kepercayaannya kembali
kepada laki-laki.
"I'll be there!" Abigail tetiba
melambaikan tangan kepada seseorang di belakangku. Aku memutar badan pelan
supaya tak terlihat sangat kepo. Di sana seorang laki-laki duduk di motor trail
berwarna putih dengan jok biru. Di punggungnya bergelayut sebuah ransel hitam.
Mataku melebar seketika, alis terangkat dalam lengkungnya. Lebih-lebih saat
helm itu ia lepas, terlihat sangat jelas. Apakah kutub utara dan selatan sedang
melelehkan gunungnya, dan apakah krisis air di tahun 2050 telah beralih ke masa
kini? Tubuhku tiba-tiba merasakan panas dingin, tenggorokanku seret kehausan.
Campur aduk segala rasa. Apalagi kehadiran Abigail di sana mengundang tanya.
Bahkan tak kusadari menit keberapa dia bergegas. Mereka terlihat sangat akrab,
adalah bagian yang sulit kugambarkan di dalam hati. Ada rasa cemburu tapi dia
siapaku? Konyol.
Atmosfer yang absurd, terutama ketika aku
ingin berlari menjauh. Abigail memanggilku, Lagi-lagi aku menoleh pelan dan
kali ini terasa kikuk. Aku belum siap mendengar kenyataan bahwa laki-laki itu
adalah calon suami yang ia ceritakan tadi. Berharap sekali ada seseorang yang
membawaku ke mana, asalkan menjauh dari mereka. Mataku menyapu seisi taman dan
zoom in pada sosok hitam manis berbaju Sari, Emma. Gadis Bengali itu nampak
bercengkerama dengan Madam Charlotte di dekat pilar tangga kaca kristal lantai
dua fakultas Seni Rupa. Betul juga, aku baru ingat jika sore nanti aku harus
pergi ke tempat waktu itu. Di mana kenangan daun maple tercatat. Entah kenapa
mengingatnya membuat hatiku kecewa. Tetapi, come on just forget him, Sheila.
Lagipula tujuanku untuk keperluan inspirasi melukis bukan pasal romansa.
Aku isyaratkan tak bisa menghampiri Abigail
dan 'dia', sebab mau masuk ke ruangan untuk melukis. Abigail menggeleng tak
percaya. Ia memajukan langkahnya, ingin mengejarku. Saat putar balik barusan,
aku sempat merekam tatapan lekat laki-laki itu dengan senyum menawannya. Dalam
hati aku menggerutu, sudah pun memiliki calon istri mengapa masih menawarkan
pesona seperti itu pada gadis lain? Ada rasa iba pada Abigail, tetapi bagaimana
dengan perasaanku juga?
Dengan langkah gontai bak slow motion di antara
kelebat para mahasiswa yang riuh membahas topik pembicaraan mereka
masing-masing, aku menaiki satu demi satu anak tangga. Emma berusaha menyapaku
hangat di tengah kesibukannya. Aku membalas dengan mimik datar demikianpun saat
menyapa Madam Charlotte.
"Hey, Sheila! Wait!" Emma
meletakkan tangannya di bahuku, hingga tak terasa kaki kami sudah masuk ke
ruangan B.301. Sangat antusias ia duduk berseberangan denganku. Ia perlihatkan
roman muka yang mampu mengembalikan ombak ke tengah lautan, sumringah sebab ada
Dosen baru mirip Jonathan Rhys Meyers. Keturunan Indonesia-Kanada akan datang
hari ini, setidaknya itu yang ia katakan barusan.
Aku bergeming sesaat kala duduk di kursiku
yang di depannya membentang kanvas persegi panjang berwarna putih. Tak tertarik
sama sekali dengan ceritanya, apalagi luka hati belumpun sembuh. Waktunya
sekarang konsentrasi pada tugas. Ambyar tak ada ide, sepertinya memang harus
jalan-jalan nanti ke sana, bersama Emma kayaknya bisa menawar gulana hati.
Selain karena ceria, Emma adalah sobat yang tidak pernah menolak jika kuajak ke
tempat yang kuinginkan, termasuk ke Assalam Mosque. Mesjid di Ottawa yang
pilarnya mirip Kanvas lukis berpigura, artistik. Tempat di mana setiap akhir
pekan para muda-mudi muslim dari berbagai negara berkumpul dalam sebuah halakah
dakwah Islamiyyah. Saat mencoba meraih kuas lukis dari bawah meja, handphoneku bergetar
dari dalam tas selempang. Ingin mengabaikan tetapi khawatir mama yang
menelepon. Intuisiku selalu tepat.
"Assalaamu'alaikum, gulali Mama. Kenapa
lama angkatnya? Mama khawatir kan?" 9 kata sudah terhitung di awal. Tak
lama lagi jika aku tak menjawab, akan beranak pinak jumlahnya.
"Wa'alaikummussalam. Ada apa Ma? Kan mama
tahu aku ada di Kampus jam begini." Aku menghela napas pelan.
"Hehe, maafin Mama. Tadi mama habis
sholat subuh. Jadi teringat kamu. Lagian mau beritahukan hal penting gitu ke
kamu."
"Iya Mama sayang, Apa?" Aku
memburu, karena sebentar lagi dosen baru tersebut akan masuk.
"Begini, mama mau kasih tau, jika anak
teman kuliah Mama dulu, itu tuh tante Mila sekarang lagi di Kanada. Itu lho
anak dia Dosen Seni Rupa kalau tidak salah. Namanya..." Suara pintu
ruangan terbuka, semua mahasiswa menyapa bersamaan pada sosok yang baru masuk.
Aku tak mendengar lagi kelanjutan kata-kata mama, yang sempat kukatakan adalah
maaf dan mengecup beliau dari kejauhan.
"Hi, everyone! My name is Mr. Liam Bahy,
and I am teaching you Fine Arts for this semester. I hope that I could make
this subject a little bit easy to you all. Thank you."
"Sir, may I have your Cell phone
number?" Si centil brunette Bella mulai memasang aksinya sembari
memelintir ujung rambut ikalnya. Ruangan menjadi bak pasar dengan para gadis
yang tiba-tiba mencari perhatiannya. Aku yang ternganga karena sangat tak
memercayai yang sedang berada di depan sana, hanya bisa menutup wajah dengan
palet kosong milik Brian di sebelahku. Laki-laki sok romantis itu menyangga
kepala dengan tangan kanannya sembari memandangku lekat. Senyumnya nampak
menyebalkan, kedua alisnya naik turun. Mungkin ia mengira aku mulai melunak
pada sikap romantisnya selama ini. Duh, luntur wibawaku kali ini. Ingin sekali
aku bertindak bar-bar dengan memukul palet tersebut ke punggungnya. Ah, tidak
lah aku bukan gadis semacam itu!
"Excuse me, young boy. Kurasa tatapanmu
salah sasaran. Sebab, dia istri masa depanku. Hanya aku yang boleh
menatapnya." Suara tegas yang selalu getarkan jantungku tersebut tiba-tiba
berdiri di antara aku dan Brian.
"Pardon me?!" Aku dan Brian
berbarengan. Suara kami cukup kentara, menambah rasa penasaran seisi ruangan
atas perihal yang terjadi. Hal itu tak pun menuai rasa senang, melainkan
angkara murka. Apa-apaan lelaki kepedean ini berkata demikian? Baru kusadari dia
benar-benar buaya darat. Ingin rasanya aku menghubungi Abigail dan memintanya
untuk segera membatalkan rencananya.
***
Kejadian
itu terjadi ketika Liam sedang melakukan penelitian terhadap karya seni rupa
abstrak sang Maestro Affandi Koesoema. Tanpa pikir panjang gadis itu mengambil
kucing yang terjatuh ke got bau busuk di jalan. Tak lama Liam melintas dan
kebetulan dia sedang membawa tas ransel. Dengan tak tahu malu gadis tersebut
menghentikannya dan memohon pada Liam untuk membawa serta kucing itu dengannya.
Sebab ibunya alergi bulu kucing, jadi mustahil ia bawa ke rumah katanya. Tanpa
mendengar penjelasan Liam apa mengiyakan atau tidak, gadis itu malah langsung
memasukkan kucing itu ke dalam tasnya. Aneh sekali kan gadis itu?
"Lantas kalau dia bukan calon suamimu,
kok kalian akrab?" Abigail menekan jidatku hingga aku terdongak sedikit.
Ia ledakkan tawa dan menggodaku yang terlihat mencurigakan. Siapapun pasti
mengerti bahwa kalimatku itu artinya "aku cemburu".
"Kamu ingatkan, Sheila. Sebulan lalu aku
hendak dilecehkan beberapa pemuda br***sek saat pulang dari kampus?"
Abigail merebahkan kepalanya di atas sandaran bangku panjang taman Dundonald
Park tempat kami cuap-cuap sekarang. Di taman ini rata-rata bangkunya
berlukiskan kupu-kupu warna-warni, hasil goresan tangan seniman jalanan.
Sebagai penyuka seni, tentu di sinilah surganya.
"Dialah penyelamatku. Sejak itulah aku
akrab dengan dia, tapi hanya sekadar teman tak lebih." Abigail menghela
napas panjang. Kemudian dia hadapkan kepalanya ke arahku.
"Bagaimana sudah jelaskan sekarang?
Puas?" Ia mendekatkan wajahnya, mata juling dan menjulurkan sedikit lidah.
Aku yang agak lelet hari ini sibuk mengingat kejadian yang sama.
"Astagfirullah,
Aby it's him!" Aku menepuk-nepuk tangannya. Aku baru sadar yang
diceritakan Abigail tadi adalah kisahku setahun lalu ketika pulang dari
sekolah. Aku memegang kedua pipiku yang tetiba memanas. Lelaki ransel, itu dia!
Pantasan seperti pernah mengenalnya waktu itu.
"Ya,
it's you and him, dear." Aku terdiam sesaat dan menoleh ke Abigail
kembali. Meminta penjelasan lanjutan dengan gestur.
Ternyata Abigail sempat menaruh hati padanya,
tapi dia tak bisa mewujudkannya karena Liam sudah jatuh cinta dengan gadis
lain. Dia adalah aku, si gadis pecinta kucing yang aneh.
"Aby..., forgive me! I...uhm."
"It's okay, dear. Sebenarnya kisahku mau
menikah juga hoaks. Aku sengaja mengatakan demikian untuk menutupi perasaanku.
But..., I'm happy that the girl is you my bestie." Tak tahan aku langsung
memeluk Abigail erat. Bisa kurasakan memendam rasa itu sangat menyiksa, tetapi
akupun ingin bahagia dengan orang yang aku cintai.
“Wait a second! Jadi selama ini kamu tahu
Liam itu siapa dan berada di mana?” dari balik punggungnya aku baru menyadari
satu hal.
“Absolutely.” Abigail membalas dengan santai.
Dia tidak tahu aku merasa jengkel karenanya.
“Aby...! Kulepas pelukanku seketika.
“Yup. You can't blame me, dear! Coz you ain't
asked.” Abigail mengangkat kedua tangan sembari cekikikan melihat bibirku yang
kini mengkerut kesal.
“Aby, apa kamu yakin Liam mencintaiku juga?
Coz I ain't dreaming anymore.”
“Yup. I’m sure 100%. Coba kamu ingat-ingat
dia ada memberikanmu apa?”
“Nothing, just a leaf though.” Aku
mendengkus.
“Gotcha!” Segera aku memeriksa daun maple di
buku agenda yang selalu kubawa di tas selempang ku. Kubolak-balik daun tersebut
dan menemukan tulisan sangat kecil di ujungnya
“FILWY, S Shine. 1 January 2020.” Falling In
Love With You, Sheila Az-Zahra. Mataku berkaca-kaca, memoripun membukakan
lembarnya. Kala itu aku sempat memalingkan badan dan meneriakinya namaku ketika
buru-buru pergi. Berharap kelak takdir mempertemukan kami kembali. Tak kusangka
dia berniat sekali mengingatnya. Tulisan itu benar-benar tidak kusadari, sebab
terkecoh dengan nama kampus yang Liam tulis dengan font unik di kedua sisinya.
“Oh my goodness, I have to go right now. Maaf
ya Sheila.” Layar selulernya menyala dan pop up sebuah reminder dengan nada
Endless Love (The Myth Ost) dan buru-buru pergi. Ini sudah waktunya dia kerja
paruh waktu di Cafe populer di Ottawa. Lambaian tangan Abigail pun semakin kecil
dari kejauhan menuju halte yang berada di seberang jalan utama. Hingga tak
terlihat lagi ketika kakinya melangkah masuk bus kota. Akupun membalas lambaian
dan baru menurunkannya kala dia benar-benar sudah berangkat.
“Thanks Emma, kenapa lama sekali?” Aku
langsung menerima sebungkus kebab favoritku dan mini mineral water yang
terjulur dari balik punggungku. Pikiranku sekarang adalah kembali konsentrasi pada
tugas. Tema lukisan naturalisme bukan perkara mudah, tetapi ini bagian
favoritku. Seperti biasa dalam mengerjakannya aku dan Emma berganti tugas. Kali
ini dialah yang kebagian mencari ganjalan perut, sedangkan aku mencari
inspirasi di taman-taman, wisata alam atau taman margasatwa di sekitar. Di Ottawa
kami termasuk beruntung, sebab halal food tersedia di toko-toko atau restoran terdekat.
Para penjualnya ramah-ramah dan mereka adalah keturunan Lebanon, Arab, Malaysia
dan Turki.
Makan siang yang telat, tak heran kosongnya
perut memicuku agresif. Kini, satu gigitan pada ujung kebab yang terlihat juicy
daging kambingnya kulakukan. Walaupun hanya dibalas dengan keheningan lawan
bicara, yang penting aku makan. Mumpung mood makan sudah mulai pulih. Sejak
patah hati beberapa hari yang lalu, mataku dan mulutku tak tertarik melihat
makanan. Semua terlihat hambar.
“Avec plaisir, mademoiselle.” Seketika aku
sesegukan. Ya Rabb, suara itu bukan milik Emma.
“Oops
sorry!” Ia segera membuka mineral water tadi padaku. Aku menerima dan meminumnya
dengan posisi menyamping, persis menghadap sebuah pohon maple di sebelah kanan
bangku. Setelah menutup botol mataku menyapu seisi taman. Mencari Emma yang
seharusnya berada di sini bersamaku.
“Silakan
lanjut makan. Kamu pasti sangat lapar kan?” Perhatian yang tak tepat, lagipula
bagaimana mungkin aku memakannya jika tidak jelas. Ia tersenyum seperti
biasanya hingga membuat air ludahku terasa kembali tersangkut di tenggorokan.
Keadaan fisik yang tetiba abnormal setiap bertemu dia. Aku kikuk, malu dan
terasa beku di tempat.
“It's okay, Sheila. It's on me. Kita makan bersama ya!” Ia duduk di sebelahku dan memperlihatkan satu bungkus kebab miliknya dan melahapnya. Aku kembali menatap bungkus kebabku yang diberikannya tadi. Tidak ada yang mencurigakan sebab mereknya sama dari tempat langgananku. Dengan suara yang terbata-bata aku mengucapkan terima kasih dan menggigit kebabku kembali. Ia nampak sangat senang dan kembali menikmatinya. Sesekali kami ngobrol saat kunyahan istirahat. Terkadang tertawa dan senyum malu-malu. Ada perasaan seperti saat bertemu dengannya di jalan yang dipenuhi deret pohon maple kala itu, dejavu
Selesai
Komentar
Posting Komentar