Langsung ke konten utama

Cerita Pendek Terbaru 2021-2022

 PENYAMUN, PEDAGANG DAN SANG TIRTA

 Cerpen Mini Zhema

     Tirta bersiul, terkadang menyipratkan dirinya ke beberapa penghuni Sungai Kahayan yang tak memedulikannya. Ia berlalu dan memutuskan singgah sebentar, menyapa sekerumunan ikan Bilis yang sedang bersidang di helai-helai daun Kumpai pinggir sungai. Ia kabarkan sumber makanan yang banyak di hulu sana, mereka harus gegas sebab sebentar lagi air di sini akan memerah dan berbau metalik.

     "Tarima kasih are, Wal. Tapi je tarakhir te nampaos ih dawakuh!" Salah satu di antara Ikan Bilis yang terlihat menonjol di antara yang lain terbahak-bahak, disusul yang lain bak dikomando.

     "Aku hanya berkewajiban menyampaikan pesan, jika kalian percaya atau tidak bukan hal yang perlu kurisaukan setelahnya." Tirta nampakkan wajah tanpa mimik. Namun, kata-katanya mampu membuat Bilo, yang diketahui sebagai pemimpin Ikan Bilis itu ketar-ketir dalam pendiriannya.

     "Eh, benyem! Yo hanangui kan ngaju ih itah!" Bilo memimpin pasukannya berenang ke Hulu dengan tergesa-gesa.

      Di atas sana, langit mulai muram. Gemuruh beradu terpecut cambuk sang Malaikat Allah. Derai hujan mengguyur Bumi Tambun Bungai dengan derasnya. Di sebuah Klotok berlangitkan Terpal biru tebal, ada dua gulungan barang memanjang di sudut Haluan dan Buritan. Tak berapa lama sepasang kaki tanpa alas dan kuyup merangsek ke bagian tengah Klotok. Si pemilik raga menyeringai, "Pucuk dicintai ulampun tiba." Ia gumamkan dengan penuh kepuasan. Terpenuhi kali ini ia kumpulkan harta rampasan. Saat ia terlena dengan ketamakan.

    "Arg!" sebuah belati dengan asahan sempurna ditancapkan tepat di punggung sebelah kirinya. Ia terhuyung. Darahnya mulai berhenti mengaliri otak dan setiap bagian tubuhnya. Rasa sakit yang teramat sangat, hingga ia pun tumbang dan celebuk ke air yang seakan tidak sudi dengan jasadnya. Kali ini Tirta benar, sungai yang jernih tempat para bidadari surga mandi itupun memerah oleh darah si penyamun.

     Hujan semakin deras, suaranya seakan meneriakkan bahwa penduduk desa harus melihat si korban. Namun, godaan lelap di pagi itu sungguh tak bisa ditawar-tawar. Jangankan memandang ke arah sungai, bergeser sesenti dari tempat tidurpun mereka rasakan rugi.

     Waktu bergulir dari jam ke jam berikutnya. Hingga terendus kasus pembunuhan itu ke pihak berwajib di ibukota Kecamatan. Mereka gegas investigasi, sampailah pada kecurigaan dengan dua pedagang perantau. Merekapun diperintahkan untuk berendam di Sungai Kahayan hingga matahari pamit ke Barat. Tetapi nihil, pernyataan mereka atas pihak yang bertanggung-jawab untuk kasus itu tidak ada. Kasuspun ditutup.

     Di malam hari saat rembulan biaskan cahayannya ke permukaan air sungai, Tirta bersiul perih, "Keadilan itu jangan ditanyakan! Sebab, mulut yang berbusa untuk minta perlindungan dari para penyamun, kalian diam seribu bahasa. Jadi, biarkanlah sang alam bersatu menuntaskannya!" Semilir anginpun mengembalikan Tirta kembali pada hakikatnya, yakni menjernihkan segala kotoran dosa.

Keterangan Bahasa Dayak Ngaju:

1. Tarima kasih are, Wal. Tapi je tarakhir te nampaos ih dawakuh! 

(Terima kasih banyak, Kawan. Tapi yang terakhir omong kosong kiraku!)

2. Eh, benyem! Yo hanangui kan ngaju ih itah! 

(Eh, diam! Yuk berenang ke hulu saja kita)

3. Ikan bilis (Ikan teri air tawar)

4. Kumpai (rumput liar di pinggir sungai, biasanya untuk pakan sapi)


Selesai


BIIDZNILLAH, NIKAH RANDOM!

(Sekuel)

Cerpen Zhema

      Mata Lika nanar memandang keluar kaca jendela kamar yang terbuka sedikit di bawahnya. Semilir angin yang seharusnya ia rasakan syahdu, telah menghempas-hempas tirai pun rambut dan seluruh pakaian yang ia kenakan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

        "Bahkan, kaupun turut bermuram durja" Bisiknya pada hembusannya yang sedang bersiul lirih."

     Aku hanyalah refleksi hatimu, Lika. Jika kau bahagia maka aku adalah oksigen bagi napasmu. Namun sebaliknya jika kau bersedih, maka atmosfer hatimu bergelayut Karbondioksidaku. Sehingga akan dapat meruam di sel-sel darahmu." Ia tertunduk dalam kosong sembari memanah pandangan ke arah undangan pernikahan di atas meja kerja Lika. Seperti yang ia ucapkan bahwa apa yang wanita itu pikirkan dan perbuat akan sama dengannya.

       Lika beranjak dari titik ia berdiri menuju lembar kertas tebal berwarna pink berplastik. Ia buka sekali lagi dengan tangan gemetar. Setiap detik akalnya dikacaukan dengan bayangan tuk membuangnya ke bak sampah. Tetapi kenyataannya tidak dilakukan. Ia tahu melakukan hal itu sama saja melemparkan sisa cinta yang masih bersemayam di hati untuknya.

       Abizar Rahman dan Hernita Lelga

   Lika sunggingkan senyum namun di ujung matanya, bening itu membumbung dan meluapkan kebiruan hati.

  Selamat Mas Abizar. Akhirnya kau menemukan belahan jiwamu yang selama ini kau nantikan." Tak ia sadari undangan tersebut menjadi basah sampai huruf & membentuk pola abstrak di antara nama mempelai. Ia pandang kaca cermin di sebelah kanannya yang memantulkan bayangannya sendiri.

    Sementara nun di sebuah kamar yang sudah dihiasi pernak-pernik pengantin oleh Wedding Agency, nampak sepasang mata oriental kini begitu sayu. Setiap mereka yang lalu lalang di dekatnya menyapa, dia berusaha menyembunyikan ekspresi wajah sesungguhnya. Raganya bisa saja menjadi milik wanita lain tetapi tidak dengan hatinya. Akankah dia putuskan hal ini matang-matang? Memilih menikah untuk menghindar sesaat dari Zulaikha? Wanita yang ia cintai selama ini dalam diam?

    Saat ia tenggelam dengan pikirannya sendiri, seorang laki-laki hampir paruh baya duduk pelan di sisinya. Tatapannya sama seperti calon pengantin laki-laki, menyapu seisi ruangan yang sudah disulap bak peristirahatan seorang Raja. Bedanya, sedari tadi ia tampakkan senyum, tidak seperti sosok di sebelahnya yang mirip kertas kosong. Hilang separuh nyawa.

    "Le, bapak lan ibu biyen nikah tanpa tresna. Nanging suwe-suwe rasa tresna mau tuwuh kanthi alami. Saling nglengkapi lan butuh, barang sing luwih aji tinimbang apa wae." Ia tertegun dan menoleh pelan ke arah laki-laki di dekatnya.

      "Njih Pak. Tapi kulo... "

   "Nuwun sewu, Nggih. Permisi, Mas Abizar. Kita coba fitting baju mantenannya dulu ya." Mbak Retno, yang pun bertindak sebagai Mua di pesta pernikahannya nanti menghampiri dan memotong pembicaraan mereka. Bukan bermaksud tidak sopan, tetapi hanya menjalankan tugasnya saja. Apalagi bookingan  rias pengantin di buku catatan digitalnya begitu rapat seperti barisan semut Rang-rang.

   "Oh iya Mbak." Abizar menunjukkan takzimnya kepada bapaknya dan beranjak ke bagian kamar yang di depannya ada meja rias. Tak berapa lama punggungnya ditepuk-tepuk dari arah belakang oleh sang bapak. Sebelum ia berlalu pergi menemani para tetangga yang sibuk membantu persiapan pernikahan. Arti tepukan yang maknanya dalam sekali. Tak sulit baginya membaca gestur anak sulung tercintanya, namun tak banyak yang dapat ia bantu untuk saat ini. Ia percaya Abizar mampu mempertanggungjawabkan perasaan dan tindakannya sendiri.

  Pantulan Abizar di cermin menguraikan senyum kepada bapak. Seakan-akan telah mengutarakan seluruh gulana hati yang tertunda ia sampaikan dalam modus telepati.

    "Mas Abizar.. huh huh!" Seorang gadis remaja berlari ke arahnya dari arah luar terengah-engah. Di tangannya ada sebuah HP Android dengan layar menyala.

      "Tarik napas dulu, jangan tergesa-gesa." Abizar  mengacak rambut ikal adiknya yang wajahnya mirip sekali dengan Ariannha, anak artis Krisdayanti. Ia tersenyum lebar, hal yang paling ia sukai dari Mas Abizar adalah mengacak rambutnya. Walau hal yang sama tak pernah ia izinkan kepada siapapun bahkan ibu.

       "Ya Mas. Hehe."

       "Siapa?""

    "Mbak Nita." Ia serahkan HP itu ke Abizar, kemudian berlari dengan ceria ke ruang keluarga menemui ibu yang sedang mempersiapkan srah-srahan untuk keesokan hari. Pernikahan itu sedikit berbeda dari kebanyakan. Hernita sudah tidak memiliki ayah, sedangkan ibunya memiliki saudara kandung yang rata-rata merantau ke Kalimantan. Jadi keputusan acara pernikahannya di rumah sang pengantin laki-laki. Tetapi proses akan tetap sama, Abizar akan di antar dari rumah Paklik Herman, adiknya bapak. Kebetulan rumahnya hanya berbatas dua gang dari kediaman bapak.

       "Halo...!"

      "Halo, Mas. Boleh kita bicara empat mata? Hmm... di Pantai Serang aja ya." Matanya mengerjap-ngerjap, sedang menahan sesuatu yang seakan enggan berhenti mengalir dari pelupuknya. Hening beberapa saat, karena Abizar bingung dibuatnya. Bukankah dia sedang dipingit di kamar sebelah dan tidak boleh keluar? Apa kata tetangga dan orang lain yang melihat jika mereka sudah berdua-duaan sebelum halal? Abizar semakin dibuat kebingungan. Namun terpaksa iyakan, sebab Hernita menganggap pertemuan mereka sangat penting baginya. Untuk menjaga prinsip Abizar ia berjanji akan membawa mahram bersamanya, namun tetap ada waktu khusus membahasnya berdua saja.

***

  "Apa yang ingin kau bahas denganku?" Suara ombak memecah pantai menyambut mukadimah Abizar. Tatapannya diedarkan ke laut tak bertepi. Sedangkan di atas sana sekawanan burung Camar mengitari menantikan mangsa bersirip di dalamnya. Suara angin turut riuh seakan meneriaki mereka bahwa awan di atas sana bergulung menghitam. Hujan mungkin kan turun tak lama lagi. Kendati demikian, suasana pantai senantiasa tawarkan pesonanya. Abizar terlihat menarik napas berat. Pantai merupakan hal yang sendu baginya, sebab ia mengingatkannya akan Zulaikha. Wanita yang membuatnya seperti Qais al majnun itu sangat menyukai pantai. Pertemuan pertama merekapun dulunya di pantai ini dengan tak disengaja.

 "Aku ingin pernikahan kita dibatalkan, Mas!" Seru Nita sembari memajukan kakinya selangkah, sejajar dengan Abizar.  Laki-laki yang ia cintai itu terperanjat dan refleks mengarahkan pandangan ke arahnya. Sedari tadi hanya bergeming dan menunjukkan ketidaktertarikan padanya.

     "Apa?"

   "Iya, kau tak salah dengar, Mas." Ia sampaikan hal itu dengan mimik wajah tersenyum lebar, sangat kontras dengan tatapan sayunya. Rambutnya terbiar berkibar oleh sang bayu. Kemolekan yang seharusnya dibingkai dalam hati siapapun.

    "Aku sudah tahu semua dari Aisyah, adikmu Mas. Tentang wanita yang sampai saat ini Mas cintai." Entah ekspresi apa yang harus ia perlihatkan. Segalanya terasa tiba-tiba.

     "Tunggu dulu, Nita! Ka...mu tak boleh memutuskan hal ini secara sepihak. Fine, itu masa lalu aku."

       "Itu memang masa lalu Mas, tetapi aku nggak mau dia selalu membayangi pernikahan kita nantinya. Lagipula, sampai detik ini pun aku tak pernah merasakan kalau Mas mencintaiku!" Ia menoleh ke arah Abizar sesaat dan melemparkan kembali ke arah laut penuh emosional. Hernita melanjutkan curahan isi hatinya di atas nipah perjalanan kasihnya selama ini dengan Abizar. Bak kayu basah terselimut di kedalaman salju, tak 'kan bisa di bakar selamanya. Saat itu Abizar menduga keputusan Hernita hanya karena ia mengalami pre-marriage syndrome. Tak dinyana gadis cantik itu benar-benar serius memutuskan.

***

  Setelah kejadian yang tak hanya membuatnya malu tetapi juga keluarga besarnya, Abizar memilih kembali ke daerah tempat ia dulu bekerja yakni Kota Sinar. Kota yang seharusnya ia jauhi. Sebab di sanalah Zulaikha berada. Namun sebagai seorang laki-laki yang mengedepankan  logika ketimbang perasaan. Ia tetap pergi.  mungkin pula dengan kealpaan dirinya di tanah kelahirannya, mampu menyembuhkan hati sesiapapun yang sakit olehnya. Semisal Hernita. Keputusan yang ia pilih bukan dasar keinginan, tetapi keadaan. Tidakpun niat untuk mundur. Hanya saja cinta satu arah hanya akan menimbulkan luka demi luka di masa 'kan datang.     

    Kini, tiga puluh enam purnama telah berlalu, Abizar melalui hari-hari secara normal. Demikian pun dengan ujian kehidupannya. Babak kedua di Kota Sinar menjanjikan baginya sebagai seorang founder NGO Matan Antang Borneo. Sebagai pribadi yang komunikatif, ramah dan peduli lingkungan, tak sulit baginya membangun relasi terutama dengan dukungan para donatur dari negara-negara luar. Ia sudah bisa di katakan lelaki mapan dan sanggup memboyong keluarganya bersamanya.

   Beriring waktu, Abizar pun mampu melupakan Zulaikha. Padahal, bukan sekadar bayangan. Terkadang mereka tak saling menyadari beberapa kali bersua punggung yang saling membelakangi dari beberapa jarak. Terutama saat-saat mereka menikmati suguhan alam di beberapa tempat wisata. Sebab mereka memang memiliki ketertarikan akan suatu hal yang sama. Itulah dulu terbersit di khayal Abizar bahwa kelak ia berjodoh dengannya.

     "Bagaimana, apakah antum sudah siap?"

       "Nggih. Nanti malam saya akan ke rumah ustaz." balas Abizar kepada seseorang di HPnya. Lawan bicara tadi tersenyum dan menutup dengan salam ramahnya. Demikianpun Abizar, dia nampak lega. Dia sandarkan punggungnya pada sandaran bangku panjang Ulin di salah satu tempat singgah wisata air terjun. Kala ia memejamkan mata sejenak, ia mendengar suara anak kecil menangis di dekatnya. Sontak ia melek dan mendapati anak tersebut semakin dekat ke arahnya sembari memanggil mamanya. Abizar menoleh kanan kiri, tak mendapati gerakan para pengunjung di sekitar itu kehilangan anaknya. Semua orang terlihat baik-baik saja. Ia memutuskan untuk mencoba menenangkan dan ternyata gadis mungil kisaran umur 4 tahun itu bisa diam. Ketika sudah cukup tenang, ia menanyakan di mana kira-kira terakhir dia terpisah dengan ibunya, sembari Abizar mengamati lekat gadis kecil berwajah purnama yang nampak familiar di matanya itu.

   "Di sana, Om." Jari telunjuknya mengarah ke kanan kemudian ke kiri dengan ragu-ragu. Kebingungannya diakhiri dengan mengerucutkan bibir. Abizar tersenyum geli melihatnya, ia usap pelan kepalanya. 

        "Namamu siapa, Nak?" "

   "Aiyla, Om." Ia edarkan tatapan polosnya ke Abizar. Hati Abizar begitu damai melihatnya, apalagi bulu mata lentik itu menari-nari seperti merak.

      "Aiyla!" Seru seorang wanita berhijab syar'i ke arah mereka. Ia nampak cemas, tersimpuh dan langsung memeluk gadis kecil itu erat. Ia melepaskan sejenak pelukannya dan memeriksa seluruh badan Aiyla. 

     "Kamu ngga apa-apa kan, Nak?

    "Aiyla baik, Ma. Kalna ada Om ini! " Ia menunjuk Abizar, sehingga mata sang ibu mengekor arah telunjuknya pula. Mata keduanya melebar kaget. Wanita itu kemudian menundukkan pandangannya dengan santun. Ia bangkit dari posisinya dan mencoba berlaku wajar.

  "Apa kabar, Mas?" Tanyanya mencoba menghangatkan suasana.

       "Alhamdulillah baik. Ka... mu?"

   "Alhamdulilah baik, Mas. Terima kasih ya Mas. Maaf sudah merepotkan." Masih berada di tembok pertahanannya, wanita itu masih menundukkan pandangan.

      "Ah iya sama-sama." Tak terasa Abizar tenggelam dengan rindunya, ingin sekali ia utarakan kekonyolan hatinya.

  Pertemuan itu tak terduga dan merekapun tak banyak membahas apapun. Hingga saat wanita dan anaknya itu pamit, pikiran keduanya masih campur aduk.

      "Lika! Hmm...boleh aku tanya sesuatu?" Abizar berusaha menahan Zulaikha sesaat, sebab ia berpikir tak 'kan ada kesempatan lagi bertemu dengan wanita itu di kemudian hari. Sebab sebentar lagi ia akan menikahi wanita lain.

    "Iya Mas. Silakan!" Ia menghentikan langkahnya dan berpaling kembali ke Abizar. Tangannya sembari menepuk-nepuk punggung Aiyla di gendongannya yang mulai mengantuk.

   "Mas Ghazi mana, kok aku tak melihatnya bersamamu?"  Abizar tak memiliki hak menanyakan hal itu, namun dorongan hati paling sudut memaksanya karena penasaran.

     "Oh, beliau duluan pulang, Mas." Wajah Zulaikha seketika muram. Ia buru-buru pamit sekali lagi dan meninggalkan Abizar yang tak mampu melanjutkan kata-kata. Hipotesisnya bertransisi, bagian keliru adalah menduga suami macam apa meninggalkan istri dan anaknya di tempat itu. Apalagi seperti kejadian tadi. Bagaimana jika anak sekecil itu bertemu orang jahat dan lain sebagainya? Kalau saja ia di posisinya, hal itu tak akan terjadi. Ia kepalkan tangan dan gigi gerahamnya gemeretak pelan. Seharusnya rasa yang telah mampu disapu dari hati itu tak ada makna, namun entah kenapa setiap melihat kehadiran Lika, Abizar tak berdaya. Bahkan jiwa untuk melindungi wanita itu tetap ada. Kilas balik di memorinya sangat jelas, ketika beberapa tahun silam Zulaikha pernah disia-siakan suaminya, tetapi wanita itu tetap bertahan demi komitmen. Padahal dia wanita yang mandiri, tanpa laki-laki itupun ia mampu menafkahi dirinya sendiri dan kedua anaknya. Ah wanita!

***

      Pada malam harinya, Abizar memenuhi janjinya untuk bertemu Ustaz Zaid. Teman shalih yang selalu mengingatkannya akan kebaikan dan nasihat-nasihat agama selama di Kota itu. Akan purna ketidakpastian cintanya kepada Zulaikha, bersama keputusan yang ia ambil malam ini yakni memilih calon istri secara random.

   Bulir keringat mulai menyembul dari kedua pelipis Abizar. Terasa hening, sebab di rumah itu hanya ada sepasang suami istri dan seorang bayi yang sedang tidur di kamar. Lutut bergetar dan telapak kaki hampir berderap ke lantai papan. Sesekali ia bentangkan kedua tangan ke depan, kemudian mencengkeram kedua lututnya. Ia berusaha untuk tenang.

     "Bagaimana, apakah antum sudah siap?" Ia tertegun dan memandang ustaz Zaid. Berikut senyum Ustaz mengembang. Ia mulai membuka laptopnya dan membaca basmallah.

       "Silakan diminum kopinya, Mas Abizar." Si nyonya rumah meletakkan secangkir kopi di atas meja ruang tamu, tempat mereka duduk sekarang.

     "Oh nggih, Kak Hana. Terima kasih." Ia anggukan kepala sungkan. Aroma kopi yang terhidang begitu menenangkan, sehingga ia mencoba menyeruputnya seteguk demi seteguk. Kemudian meletakkannya kembali ke tatakannya, karena Ustaz sudah mulai membacakan 20 profil calon istri yang ia peroleh dari halakah tempat istrinya mengaji.

     Profil satu sampai dengan lima ia sangat konsentrasi, namun menginjak keenam dan seterusnya ia kembali termenung. Tiba-tiba bayangan Zulaikha terakhir kali mengganggu pikirannya.

  "Nomor berapa, akhi?" Ustaz Zaid jentikkan jarinya, sehingga lamunan Abizar terbuyar.

      "No. 7, ustaz." Sejurus tanpa mengulang kejelasan data lagi."

   "Akhi yakin?" Ustaz Zaid mencondongkan sedikit badannya sembari menutup laptop. Tak ada yang lebih yakin selain hati Abizar saat itu. Lagipula nomor berapapun ia pilih hasilnya akan sama. Sebab inilah jawaban doa sepertiga malamnya selama ini. Biidznillah, ia menyerahkan yang terbaik di tangan Allah bukan kemauan hasratnya. Sebab sekian kali ia menuruti nuraninya, jodohnya semakin jauh terasa.

  "Maa Syaa Allah, tabarakallah! Baik. Seminggu lagi akan ana infokan ke antum ya." Kembali Ustaz Zaid tersenyum kepadanya. Sementara di luar sana, gemintang di langit kerlap-kerlip dengan anggun. Awan tipis berusaha mendekat, menyuguhkan pemandangan yang begitu mengagumkan. Seakan turut mengaminkan segala doa para pecinta.

    Beberapa bulan telah berlalu. Di bibir pantai Serang,  debur ombak sesekali menyentuh dua pasang kaki yang sedang menikmati baby moon. Liukan angin membentuk siluet wajahnya sendiri. Berhenti dengan pelan di hadapannya. Sebelum ia menuju ketiadaan, ia ucapkan selamat atas segala harap yang telah menjadi nyata. Sekawanan burung camar yang sudah berganti generasi riuh membentuk pola tak biasa di atas permukaan laut biru berplankton. Musim di mana beberapa koloni ikan  tak takut dimangsa.

     "Sayang, terima kasih sudah hadir di kehidupanku. Maafkan jika kedatanganku sedikit terlambat." Bisiknya lembut. Ia peluk wanita itu dengan pelan dari belakang, sembari mengusap calon buah hati mereka di kandungannya. Wanita itu hanya terdiam bahagia. Ia pejamkan mata dan menikmati suara kekasih halalnya berbicara. Sekarang ia memiliki hak untuk menyimpannya di bilik jantung.

    "Mas Abizar, terima kasih juga telah menerimaku apa adanya." Ia lepas pelan pelukan suaminya dan  membalikkan badan. Sehingga posisi mereka saling berhadapan. Cukuplah tatapan itu membaca segala apa yang belum diucapkan selama ini.

    "Mama! Papa! Abang Zayn jahat." Gadis kecil itu berlari ke arah mereka. Ia menggerutu karena tidak diperbolehkan oleh kakak laki-laki nya bermain air di pinggir pantai. Ia lipat kedua tangannya di depan dadanya dan mendengkus, sehingga terlihat sangat menggemaskan.

     "Aiyla!" seru keduanya diikuti tawa yang sangat bahagia.

  "Cinta tak pernah urai rencana 'kan berlabuh pada siapa. Terkadang tanpa permisi dan kompromi. Saat itulah uji ia cinta sejati ataukah ilusi nafsu duniawi."---Abizar

 

Selesai.


PESAN CINTA DARI POHON MAPLE

Cerpen Zhema

Melodi terdengar merdu mengiringi beberapa helai dedaunan maple kuning yang gugur menutupi jalan beraspal di bawahnya. Kuedar pandangan ke depan sana hingga ujungnya terlihat. Aku menyipitkan mata berusaha menangkap bayangan seseorang menuju ke arahku. Tak tertangkap jelas, selain karena bias sinar matahari pagi yang memanah melalui sela-sela dedaunan, pun tanpa bantuan dua kaca yang biasanya melekat di hidungku. Sesaat kuabaikan dan memilih menikmati indahnya deret pepohonan yang memagari sisi jalan. Sungguh keindahan yang memesona. "Crip...crip...crip..." Kuhentikan langkah sejenak dan memejamkan mata, menikmati tentramnya suara anak burung berkicauan bersama induknya di dahan-dahan pohon. Ingin sekali aku menari, namun kuurungkan agar tak terlihat norak. Apalagi aku sangat yakin sosok tadi semakin mendekat. "Excuse me, Miss. Apakah Miss bisa bantu saya?" Sebuah suara menepis imajinasiku dari nirwana sejenak. Terdengar tegas namun berwarna indah. Sebuah suara yang hanya dimiliki lelaki good looking. Dengan pelan kubuka mata dan benar adanya. Lelaki mengenakan hoodie berwarna abu denim, tinggi sekitar 178 cm berdiri tepat di hadapanku. Sekilas mataku salah fokus dengan ransel yang ia bawa di punggungnya. Sepertinya familiar tetapi entah pernah melihatnya di mana, dejavu.

“Miss...!" Aku tertegun dan mendongak ke wajahnya. Belum jelas rupa itu kupandang, suara klakson bus lewat dan meniup dedaunan di jalan ke arah kami. Tubuhku refleks menyamping ke arah bahu jalan. Sementara laki-laki tadi dengan sigap menamengku dengan punggungnya. Aksi heroik yang hanya dimiliki seorang atlet bola basket ataupun bela diri biasanya.

“Are you okay?" Ia mengamatiku khawatir. Sembari melepas beberapa daun yang lengket di kerudung pashminaku, aku yakinkan dia bahwa tidak ada yang perlu dirisaukan. Sepersekian detik kuas di otakku melukis senyumnya. Serasa ada madu di ukirannya, manis dan bernutrisi. Bagaimana tidak, jika detak jantungkupun tiba-tiba terasa sangat sehat karenanya. Walaupun iramanya tak beraturan dan semakin kencang.

“Sorry, is there anything that you want me to help you?" Aku mencoba mengalihkan rasa. Dia langsung mengingat dan segera membuka isi tasnya. Terbersit prasangka buruk, aku mundur beberapa langkah. Dia mengeluarkan sebuah pena dan melempar pandang padaku. Kali ini senyum itu diiringi gelengan ringan.

“Take it easy, Miss. I don't harm anyone." Walau ada rasa malu, setidaknya tak bermudah-mudahan dengan orang tak dikenal harus tetap menjadi prinsip. Sekali lagi dia mencari sesuatu di tasnya, nihil. Dia melangkah ke arahku pelan. Mataku membelalak, tetapi kaki terasa kaku. Dengan cekatan tangannya mengambil sesuatu di kepalaku. Hampir saja aku memecahkan udara dengan bahana suara yang kumiliki.

“See...!" Ia menunjukkan benda tersebut ke padaku yang terlihat masih dalam posisi ketakutan. Tak lama iapun nampak menulis sesuatu di atas benda tadi, kemudian memberikannya padaku dengan hati-h‌ati. Dia cu‌kup memahami apa yang sedang kupikirkan.

Kubaca dengan teliti, ternyata dia hanya ingin petunjuk arah menuju kampus di mana langkah kakiku beranjak beberapa waktu lalu. Bisa saja dia langsung utarakan maksudnya, untuk apa repot-repot menulis? Jadi tidak salah jika aku berburuk sangka, apalagi jalan ini sepi dari orang yang lalu lalang. 

Itulah awal aku mengenal dia, lelaki misterius yang sampai sekarangpun aku belum tahu nama dan apa tujuannya saat itu datang ke kampusku. Jika dia seorang mahasiswa baru pasti tak sulit menemukannya. Apakah dia hantu ataukah penampakan dari halu semata. Apakah ini tanda-tanda aku harus ke psikiater? Ah tidak, aku yakin aku masih waras. Tetapi, kalau dia benar-benar ada pasti keberadaannya hanya secuil u‌jung jariku untuk menemukannya. Lagipula bukan maksud menyombongkan diri, kampus adalah rumah keduaku. Aku juga termasuk mahasiswi aktif di organisasi kemahasiswaan. Ketenarankupun sudah tak diragukan lagi, bahkan terkadang banyak yang menyapa dan akupun pura-pura akrab padahal lupa siapa. Namun, siapa saja yang menjadi pusat perhatian aku pasti tahu. Apalagi dengan fisik yang ia miliki.

***

“Stop it, Abigail" Ia menurunkan kedua tangan pualamnya dari mataku sembari cekikikan. Kebiasaan yang selalu ia lakukan. Ia beralih duduk dengan antusias di depanku. Lanjut lengkung bibirnya terangkat dengan binar mata hazel yang berusaha menembus pikiranku, mencurigakan.

“Pardon me, young lady? What is the crazy thing you want to do now?" Kupelintir ujung daun Maple di buku agendaku.

"Nothing. Tetapi, kali ini aku ingin mengumumkan kepada dunia bahwa aku akan melepaskan masa lajangku." Ia bentangkan kedua tangannya ke atas dengan wajah berseri-seri. Tanpa memedulikan beberapa mahasiswa lain yang duduk di rerumputan taman kampus seperti kami merasa terganggu. Bahkan ada salah satu mereka yang sedang melukis di canvas terhenti sebentar hanya untuk menggeleng kepala. Abigail memang selalu berhasil meriuhkan kesenyapan dengan suara cempreng dan melengkingnya.

"Sorry you guys!" ucapku sembari menutup mulut Abigail dengan daun Maple yang kupegang tadi. Abigail sedikit berontak, tetapi akhirnya menyadari bahwa ia telah membuyarkan konsentrasi orang lain. Kulepas tanganku kembali dan memeriksa daun tersebut. Syukurlah tidak robek akibat refleks barusan.

 "Sorry!" Abigail mengekor meminta maaf atas sikapnya kepada seantero taman.

 "Coba jelaskan padaku atas pernyataanmu barusan, Aby!"

"Wait a minute, kamu masih menyimpan daun itu? Apa kamu sudah gila, Sheila." Ia berusaha merampasnya, namun berhasil kusimpan ke dalam tas bersama buku agenda.

"Oh my goodness, selamatkan aku Tuhan dari seorang hoarding disorder." Ia bentuk tanda salib di jidat, pusar serta dada kiri dan kanan kemudian mengecupnya.

"Abigail...!" Aku menggelitiknya tak tahan dengan gaya kocaknya.

 "Haha! Tell me why you keep it, dear?" Alisnya sedikit di angkat.

"It's secret! Ah..., oh iya tadi kamu serius mau menikah?" Kucoba alihkan pembicaraan dan benar saja Abigail sangat bersemangat menceritakan rencananya. Seorang plegmatis mendadak serius menjalin hubungan dengan seseorang, rasanya sesuatu sekali. Tetapi Abigail memang pantas bahagia. Di balik karakter ceria dan jenaka, ia adalah gadis yang rapuh karena memiliki ayah yang ringan tangan kalau pulang ke rumah dalam keadaan mabuk. Hingga akhirnya ibunya memilih bercerai demi keselamatan anak-anaknya.

"So... what about you, dear?" Tak terasa kisahnya usai, padahal aku masih ingin mendengar lebih lama. Sekarang aku lebih nyaman sebagai pendengar dibanding menunjukkan keakuan. Bukan pula pendiam, hanya saja untuk sekarang seperti itu adanya.

"Well, don't worry about me. Aku akan bertemu dengan jodohku segera. In Syaa Allah." Ucapku yakin dengan senyum tanpa memperlihatkan deret gigi padanya.

"Ah... apakah kau menunggunya?" Ia mengarahkan jari telunjuknya naik turun ke padaku. Pertanyaan yang sulit kujawab, lagipula tidak ada pembenaran atas perasaan yang singgah sebentar. Katakan saja ini cinta pada pandangan pertama, tetapi apakah layak menantikan cinta antara nyata dan maya subjeknya?  Memandang Abigail, sahabat sejatiku menemukan pasangan hidupnya saja lebih dari cukup untukku. Karena ia berhasil memulihkan kepercayaannya kembali kepada laki-laki.

"I'll be there!" Abigail tetiba melambaikan tangan kepada seseorang di belakangku. Aku memutar badan pelan supaya tak terlihat sangat kepo. Di sana seorang laki-laki duduk di motor trail berwarna putih dengan jok biru. Di punggungnya bergelayut sebuah ransel hitam. Mataku melebar seketika, alis terangkat dalam lengkungnya. Lebih-lebih saat helm itu ia lepas, terlihat sangat jelas. Apakah kutub utara dan selatan sedang melelehkan gunungnya, dan apakah krisis air di tahun 2050 telah beralih ke masa kini? Tubuhku tiba-tiba merasakan panas dingin, tenggorokanku seret kehausan. Campur aduk segala rasa. Apalagi kehadiran Abigail di sana mengundang tanya. Bahkan tak kusadari menit keberapa dia bergegas. Mereka terlihat sangat akrab, adalah bagian yang sulit kugambarkan di dalam hati. Ada rasa cemburu tapi dia siapaku? Konyol.

Atmosfer yang absurd, terutama ketika aku ingin berlari menjauh. Abigail memanggilku, Lagi-lagi aku menoleh pelan dan kali ini terasa kikuk. Aku belum siap mendengar kenyataan bahwa laki-laki itu adalah calon suami yang ia ceritakan tadi. Berharap sekali ada seseorang yang membawaku ke mana, asalkan menjauh dari mereka. Mataku menyapu seisi taman dan zoom in pada sosok hitam manis berbaju Sari, Emma. Gadis Bengali itu nampak bercengkerama dengan Madam Charlotte di dekat pilar tangga kaca kristal lantai dua fakultas Seni Rupa. Betul juga, aku baru ingat jika sore nanti aku harus pergi ke tempat waktu itu. Di mana kenangan daun maple tercatat. Entah kenapa mengingatnya membuat hatiku kecewa. Tetapi, come on just forget him, Sheila. Lagipula tujuanku untuk keperluan inspirasi melukis bukan pasal romansa.

Aku isyaratkan tak bisa menghampiri Abigail dan 'dia', sebab mau masuk ke ruangan untuk melukis. Abigail menggeleng tak percaya. Ia memajukan langkahnya, ingin mengejarku. Saat putar balik barusan, aku sempat merekam tatapan lekat laki-laki itu dengan senyum menawannya. Dalam hati aku menggerutu, sudah pun memiliki calon istri mengapa masih menawarkan pesona seperti itu pada gadis lain? Ada rasa iba pada Abigail, tetapi bagaimana dengan perasaanku juga?

Dengan langkah gontai bak slow motion di antara kelebat para mahasiswa yang riuh membahas topik pembicaraan mereka masing-masing, aku menaiki satu demi satu anak tangga. Emma berusaha menyapaku hangat di tengah kesibukannya. Aku membalas dengan mimik datar demikianpun saat menyapa Madam Charlotte.

"Hey, Sheila! Wait!" Emma meletakkan tangannya di bahuku, hingga tak terasa kaki kami sudah masuk ke ruangan B.301. Sangat antusias ia duduk berseberangan denganku. Ia perlihatkan roman muka yang mampu mengembalikan ombak ke tengah lautan, sumringah sebab ada Dosen baru mirip Jonathan Rhys Meyers. Keturunan Indonesia-Kanada akan datang hari ini, setidaknya itu yang ia katakan barusan.

Aku bergeming sesaat kala duduk di kursiku yang di depannya membentang kanvas persegi panjang berwarna putih. Tak tertarik sama sekali dengan ceritanya, apalagi luka hati belumpun sembuh. Waktunya sekarang konsentrasi pada tugas. Ambyar tak ada ide, sepertinya memang harus jalan-jalan nanti ke sana, bersama Emma kayaknya bisa menawar gulana hati. Selain karena ceria, Emma adalah sobat yang tidak pernah menolak jika kuajak ke tempat yang kuinginkan, termasuk ke Assalam Mosque. Mesjid di Ottawa yang pilarnya mirip Kanvas lukis berpigura, artistik. Tempat di mana setiap akhir pekan para muda-mudi muslim dari berbagai negara berkumpul dalam sebuah halakah dakwah Islamiyyah. Saat mencoba meraih kuas lukis dari bawah meja, handphoneku bergetar dari dalam tas selempang. Ingin mengabaikan tetapi khawatir mama yang menelepon. Intuisiku selalu tepat.

"Assalaamu'alaikum, gulali Mama. Kenapa lama angkatnya? Mama khawatir kan?" 9 kata sudah terhitung di awal. Tak lama lagi jika aku tak menjawab, akan beranak pinak jumlahnya.

 "Wa'alaikummussalam. Ada apa Ma? Kan mama tahu aku ada di Kampus jam begini." Aku menghela napas pelan.

"Hehe, maafin Mama. Tadi mama habis sholat subuh. Jadi teringat kamu. Lagian mau beritahukan hal penting gitu ke kamu."

"Iya Mama sayang, Apa?" Aku memburu, karena sebentar lagi dosen baru tersebut akan masuk.

"Begini, mama mau kasih tau, jika anak teman kuliah Mama dulu, itu tuh tante Mila sekarang lagi di Kanada. Itu lho anak dia Dosen Seni Rupa kalau tidak salah. Namanya..." Suara pintu ruangan terbuka, semua mahasiswa menyapa bersamaan pada sosok yang baru masuk. Aku tak mendengar lagi kelanjutan kata-kata mama, yang sempat kukatakan adalah maaf dan mengecup beliau dari kejauhan.

"Hi, everyone! My name is Mr. Liam Bahy, and I am teaching you Fine Arts for this semester. I hope that I could make this subject a little bit easy to you all. Thank you."

"Sir, may I have your Cell phone number?" Si centil brunette Bella mulai memasang aksinya sembari memelintir ujung rambut ikalnya. Ruangan menjadi bak pasar dengan para gadis yang tiba-tiba mencari perhatiannya. Aku yang ternganga karena sangat tak memercayai yang sedang berada di depan sana, hanya bisa menutup wajah dengan palet kosong milik Brian di sebelahku. Laki-laki sok romantis itu menyangga kepala dengan tangan kanannya sembari memandangku lekat. Senyumnya nampak menyebalkan, kedua alisnya naik turun. Mungkin ia mengira aku mulai melunak pada sikap romantisnya selama ini. Duh, luntur wibawaku kali ini. Ingin sekali aku bertindak bar-bar dengan memukul palet tersebut ke punggungnya. Ah, tidak lah aku bukan gadis semacam itu!

"Excuse me, young boy. Kurasa tatapanmu salah sasaran. Sebab, dia istri masa depanku. Hanya aku yang boleh menatapnya." Suara tegas yang selalu getarkan jantungku tersebut tiba-tiba berdiri di antara aku dan Brian.

"Pardon me?!" Aku dan Brian berbarengan. Suara kami cukup kentara, menambah rasa penasaran seisi ruangan atas perihal yang terjadi. Hal itu tak pun menuai rasa senang, melainkan angkara murka. Apa-apaan lelaki kepedean ini berkata demikian? Baru kusadari dia benar-benar buaya darat. Ingin rasanya aku menghubungi Abigail dan memintanya untuk segera membatalkan rencananya.

***

 Kejadian itu terjadi ketika Liam sedang melakukan penelitian terhadap karya seni rupa abstrak sang Maestro Affandi Koesoema. Tanpa pikir panjang gadis itu mengambil kucing yang terjatuh ke got bau busuk di jalan. Tak lama Liam melintas dan kebetulan dia sedang membawa tas ransel. Dengan tak tahu malu gadis tersebut menghentikannya dan memohon pada Liam untuk membawa serta kucing itu dengannya. Sebab ibunya alergi bulu kucing, jadi mustahil ia bawa ke rumah katanya. Tanpa mendengar penjelasan Liam apa mengiyakan atau tidak, gadis itu malah langsung memasukkan kucing itu ke dalam tasnya. Aneh sekali kan gadis itu?

"Lantas kalau dia bukan calon suamimu, kok kalian akrab?" Abigail menekan jidatku hingga aku terdongak sedikit. Ia ledakkan tawa dan menggodaku yang terlihat mencurigakan. Siapapun pasti mengerti bahwa kalimatku itu artinya "aku cemburu".

"Kamu ingatkan, Sheila. Sebulan lalu aku hendak dilecehkan beberapa pemuda br***sek saat pulang dari kampus?" Abigail merebahkan kepalanya di atas sandaran bangku panjang taman Dundonald Park tempat kami cuap-cuap sekarang. Di taman ini rata-rata bangkunya berlukiskan kupu-kupu warna-warni, hasil goresan tangan seniman jalanan. Sebagai penyuka seni, tentu di sinilah surganya.

"Dialah penyelamatku. Sejak itulah aku akrab dengan dia, tapi hanya sekadar teman tak lebih." Abigail menghela napas panjang. Kemudian dia hadapkan kepalanya ke arahku.

"Bagaimana sudah jelaskan sekarang? Puas?" Ia mendekatkan wajahnya, mata juling dan menjulurkan sedikit lidah. Aku yang agak lelet hari ini sibuk mengingat kejadian yang sama.

 "Astagfirullah, Aby it's him!" Aku menepuk-nepuk tangannya. Aku baru sadar yang diceritakan Abigail tadi adalah kisahku setahun lalu ketika pulang dari sekolah. Aku memegang kedua pipiku yang tetiba memanas. Lelaki ransel, itu dia! Pantasan seperti pernah mengenalnya waktu itu.

 "Ya, it's you and him, dear." Aku terdiam sesaat dan menoleh ke Abigail kembali. Meminta penjelasan lanjutan dengan gestur.

Ternyata Abigail sempat menaruh hati padanya, tapi dia tak bisa mewujudkannya karena Liam sudah jatuh cinta dengan gadis lain. Dia adalah aku, si gadis pecinta kucing yang aneh.

"Aby..., forgive me! I...uhm."

"It's okay, dear. Sebenarnya kisahku mau menikah juga hoaks. Aku sengaja mengatakan demikian untuk menutupi perasaanku. But..., I'm happy that the girl is you my bestie." Tak tahan aku langsung memeluk Abigail erat. Bisa kurasakan memendam rasa itu sangat menyiksa, tetapi akupun ingin bahagia dengan orang yang aku cintai.

“Wait a second! Jadi selama ini kamu tahu Liam itu siapa dan berada di mana?” dari balik punggungnya aku baru menyadari satu hal.

“Absolutely.” Abigail membalas dengan santai. Dia tidak tahu aku merasa jengkel karenanya.

“Aby...! Kulepas pelukanku seketika.

“Yup. You can't blame me, dear! Coz you ain't asked.” Abigail mengangkat kedua tangan sembari cekikikan melihat bibirku yang kini mengkerut kesal.

“Aby, apa kamu yakin Liam mencintaiku juga? Coz I ain't dreaming anymore.”

“Yup. I’m sure 100%. Coba kamu ingat-ingat dia ada memberikanmu apa?”

“Nothing, just a leaf though.” Aku mendengkus.

“Gotcha!” Segera aku memeriksa daun maple di buku agenda yang selalu kubawa di tas selempang ku. Kubolak-balik daun tersebut dan menemukan tulisan sangat kecil di ujungnya

“FILWY, S Shine. 1 January 2020.” Falling In Love With You, Sheila Az-Zahra. Mataku berkaca-kaca, memoripun membukakan lembarnya. Kala itu aku sempat memalingkan badan dan meneriakinya namaku ketika buru-buru pergi. Berharap kelak takdir mempertemukan kami kembali. Tak kusangka dia berniat sekali mengingatnya. Tulisan itu benar-benar tidak kusadari, sebab terkecoh dengan nama kampus yang Liam tulis dengan font unik di kedua sisinya.

“Oh my goodness, I have to go right now. Maaf ya Sheila.” Layar selulernya menyala dan pop up sebuah reminder dengan nada Endless Love (The Myth Ost) dan buru-buru pergi. Ini sudah waktunya dia kerja paruh waktu di Cafe populer di Ottawa. Lambaian tangan Abigail pun semakin kecil dari kejauhan menuju halte yang berada di seberang jalan utama. Hingga tak terlihat lagi ketika kakinya melangkah masuk bus kota. Akupun membalas lambaian dan baru menurunkannya kala dia benar-benar sudah berangkat.

“Thanks Emma, kenapa lama sekali?” Aku langsung menerima sebungkus kebab favoritku dan mini mineral water yang terjulur dari balik punggungku. Pikiranku sekarang adalah kembali konsentrasi pada tugas. Tema lukisan naturalisme bukan perkara mudah, tetapi ini bagian favoritku. Seperti biasa dalam mengerjakannya aku dan Emma berganti tugas. Kali ini dialah yang kebagian mencari ganjalan perut, sedangkan aku mencari inspirasi di taman-taman, wisata alam atau taman margasatwa di sekitar. Di Ottawa kami termasuk beruntung, sebab halal food tersedia di toko-toko atau restoran terdekat. Para penjualnya ramah-ramah dan mereka adalah keturunan Lebanon, Arab, Malaysia dan Turki.

Makan siang yang telat, tak heran kosongnya perut memicuku agresif. Kini, satu gigitan pada ujung kebab yang terlihat juicy daging kambingnya kulakukan. Walaupun hanya dibalas dengan keheningan lawan bicara, yang penting aku makan. Mumpung mood makan sudah mulai pulih. Sejak patah hati beberapa hari yang lalu, mataku dan mulutku tak tertarik melihat makanan. Semua terlihat hambar.

“Avec plaisir, mademoiselle.” Seketika aku sesegukan. Ya Rabb, suara itu bukan milik Emma.

 “Oops sorry!” Ia segera membuka mineral water tadi padaku. Aku menerima dan meminumnya dengan posisi menyamping, persis menghadap sebuah pohon maple di sebelah kanan bangku. Setelah menutup botol mataku menyapu seisi taman. Mencari Emma yang seharusnya berada di sini bersamaku.

 “Silakan lanjut makan. Kamu pasti sangat lapar kan?” Perhatian yang tak tepat, lagipula bagaimana mungkin aku memakannya jika tidak jelas. Ia tersenyum seperti biasanya hingga membuat air ludahku terasa kembali tersangkut di tenggorokan. Keadaan fisik yang tetiba abnormal setiap bertemu dia. Aku kikuk, malu dan terasa beku di tempat.

“It's okay, Sheila. It's on me. Kita makan bersama ya!” Ia duduk di sebelahku dan memperlihatkan satu bungkus kebab miliknya dan melahapnya. Aku kembali menatap bungkus kebabku yang diberikannya tadi. Tidak ada yang mencurigakan sebab mereknya sama dari tempat langgananku. Dengan suara yang terbata-bata aku mengucapkan terima kasih dan menggigit kebabku kembali. Ia nampak sangat senang dan kembali menikmatinya. Sesekali kami ngobrol saat kunyahan istirahat. Terkadang tertawa dan senyum malu-malu. Ada perasaan seperti saat bertemu dengannya di jalan yang dipenuhi deret pohon maple kala itu, dejavu

Selesai

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Real Dead People

"I see dead people"--The Sixth Sense Ambling! Hustling! When my soul wandering all the lands and oceans, My wings couldn't stop peace on them for long: scared. None of the people I met had normal eyes, Their skin were pale, "Hey, buddy! Look at me!" I shouted to them but silent I gotten. For the second thought trying, "Hey, sweetheart! Look at me!" I shouted to them, they stopped walking; Stepped closer emotionless. Trembling feelings in my legs, Then the heart beating hard, "What's going on to these people?" I threw a spear from my eyes, One of the beautiful girls said, "Bring me back to life, please?" Hence, my body and soul awakened. I sat on the park bench and thought, Hugged myself tightly, There, roughly ten o'clock position from me; car crashed sounds. I rushed and found a cat, bleeding on the asphalt road, "Just throw it in the garbage bin, dude" he said. My teeth chattered: hea

Your Wound Will Be Healed

"Why take any longer The feeling's getting stronger No, I can't wait. I can't wait anymore! Cause Today Is Yesterday's Tomorrow"--Michael Buble Standing squarely before my mirror, I ask you as the shadow of mine, How could you pretend smile? Meanwhile, your open wound uncleaned; Yellowish-red, To strive, to seek and find a bandage. Please one step ahead! 'Don't expel me' you said, We need to go to the library, Finding a book of God's: Beautiful in cover, light you heart, Thus, you will forget me. No! Dear, I can't stand it, Without you i'm nothing, Everything is blue. Don't hate me! Cause you cannot go alone, I know the feeling's getting stronger, Just stay here, your wound will be healed: I love you. ©zhema

Tuan Hati

Puisi Zhema Berdiri di jembatan angkat Kota Tua Berjebah segala kapal jauh akan melewatinya; Hanya satu yang kutunggu, dia si Tuanhati Menjanjikanku untuk cuat pinangan. Hari-hari ini atau masa depan. M-7 dalam deret morse namamu: Raihlah tanganku segera! Ya Tuhan, benda-benda tanpa kabel itu! Meruntuhkan batas tembokku, Tanpa ampun, tanpa waktu luang, Dia menarikku paksa ke dalam cintanya. Aksara indah tak semerta milik pujangga, Ia luruh dalam cinta sepasang kekasih; Yang simpuh di atas sajadah kembar (jambu merah dan biru berplankton) Tuanhati, datanglah dengan kapalmu! Berdirilah di STEM bergeming dan gagah, Agar mataku hanya menangkap objekmu. Pun, biarkan dunia tahu, Keciutan hati bukan caramu, Katakan pada mereka cincin tersimpan: Berkemilau,indah dan hanya milikku. Ya Tuanhati! Ambillah Visa, Bentangkan layar kapalmu pulang! Sambangi aku dalam gaun putih, menetaplah. Suara Camar dan bunyi rebana adu ceria; Seakan engkaulah putra mahkota, Mereka