Langsung ke konten utama

Cerita Pendek

KEPLER 8066

Cerpen Zhema


 Mei 2020, awal kegemparan itu terjadi. Ilmuwan NASA menemukan dunia paralel di Antartika. Penyangkalan hasil penelitian pun dilakukan demi meredam kekisruhan. Sementara itu, seorang pemuda lulusan Teknik Informatika Universitas Indonesia—Rian Panenga—diam-diam diincar para ilmuwan elit dunia. Kunci dunia paralel atau lebih dikenal dengan Planet Kepler 8066 itu ada padanya. Tidak hanya itu, Rian juga menemukan berbagai jenis senjata laser modern dengan fungsi berbeda. Pemusnah masal salah satu senjatanya yang paling diburu hingga nyawanya terancam. Anggota keluarganya sudah ada yang terbunuh. Namun, Rian tak punya pilihan selain melindungi temuannya dari tangan-tangan perusak. Lima kali melewati bulan Ramadan ini, ia selalu berteleportasi di Bumi, kemudian ke Planet Kepler 8066. Dia tidak sendiri, melainkan bersama seorang gadis yang sama sepertinya, Mila. Si Einstein yang mengenakan profesi gamer sebagai identitasnya.

 Secret Positioning System di kuku jempol tangan kanan Rian berpendar terang, hingga lorong Laboratorium Super Humans’ Prototype yang sudah tinggal reruntuhan dan gelap semakin terlihat dengan jelas. Mila terbelalak penasaran dan memajukan dagunya kearah Rian. Mereka terjebak di sana sudah beberapa hari. Tak ada asupan energi, sebab persediaan makanan dan minuman ikut serta hancur akibat ledakan senjata pemusnah masal dengan skala kecil lantaran si penghianat—Profesor Edgard. “Kita harus ke Bumi, Profesor Edgard akan—” Sengatan listrik dari StunGun yang diarahkan seseorang padanya, membuat tubuh Rian limbung dan ambruk seketika.

            “Rian!” dengan sisa tenaga yang dimiliki, Mila mencoba menggegarkan badannya tetapi sia-sia. Sedikit demi sedikit kelopak matanya menutup, hingga pandangannya semakin gelap, berikut suara Mila pun samar dan lenyap. Alat monitor hemodinamik dan saturasi terdengar memecah keheningan. Rian mengerjap-ngerjap kedua bola matanya pelan. Suara napasnya terdengar memantul ke Oxygen Mask hingga mengembun. Ia sapu seisi ruangan bernuansa serba putih pualam tersebut. Sekitar 2 meter sebelah kanan pembatas gorden bed, ada seorang wanita mengenakan blazer hitam senada dengan celana panjang dan high heelsnya. Ia tampak melipat tangan di dadanya. Hampir tak kasat mata, disebabkan sofabed yang ia duduki pun berwarna hitam. Tatapan tenang, sesekali bulu mata lentik itu seakan menari-nari kala kelopaknya mengerdip setiap 0,4 detik. Mimik wajah tak berekspresi itu ia edar keluar jendela di sisinya.

            “Di mana ini? Mila.…” Rian berusaha duduk dan melepas Oxygen Mask dari wajahya. Saat jarum infus di tangannya hendak ia lepas, upayanya dicegat oleh wanita itu. Sangat cekatan, ia menembakkan senjata laser pembeku ke kedua tangan Rian sampai tak bisa digerakkan sama sekali.

            “Maafkan aku, Rian. Aku tak punya pilihan.” Ia masih todongkan senjata itu ke arah Rian dengan roman dingin. Rian dibuat bingung atas perihal di depannya. Mengapa Mila berpenampilan beda? Memori singkat Rian memperlihatkan kejadian terakhir sebelum ia tersungkur. Apakah ada seseorang dibalik perubahan ini? Mungkinkah perjalanan mereka yang sudah sangat melelahkan ini turut merancu isi kepalanya?

            “Argg! Apa-apaan ini, Mila? Lepaskan!” Tangan Rian semakin berat, ia mencoba keras untuk terlepas, tetapi gagal.

            “Dengar! Jika kauingin masih bisa menghirup udara, maka turuti perkataanku!” Mila semakin serius, pelatuk senjatanya sudah siap dilepaskan jika ia mendapatkan penolakan.

            Rian menundukkan kepalanya sejenak dan mendongak tegas ke Mila, deret gigi putihnya terlihat kala ia tersenyum lebar. Sepersekian detik detak jantung Mila tak berdamai, ia tepis buncahan rasa itu di hatinya. “Apa yang harus kulakukan, Nona Mila?” Rian menyeringai.

            “Kit—!” Tak ia nyana ternyata Rian sudah merebut senjata di tangannya dan menodong balik. Mila sontak mundur dengan gestur kedua tangannya menahan Rian agar tidak menembak.

            “Kaulupa Nona, senjata ini akulah yang membuatnya! Tentu aku tau cara mengendalikannya.” Tenggorokan Mila terlihat menonjol sedikit, pandangannya tak ia lepas dari benda mematikan di depannya. Pelan-pelan ia tersimpuh di hadapan Rian. Tetapi, janganlah lupa seekor serigala tidak pernah betah dengan mantel dombanya. Ia meluncurkan tendangannya ke kaki Rian. Rian mengelak, jarum infus itu puput dengan sendirinya. Rian sempat mengerang pelan. Tendangan kaki Mila meleset dan menghancurkan permukaan atas bedside cabinet  di belakang Rian. Pertarungan yang cukup sengit, Mila akhirnya memilih berhenti sesaat. Gerakannya begitu halus ketika jam tangan digitalnya ia tekan, lantas muncul beberapa Super Human’s Prototype berpakaian Ninja di ruangan itu. Serta-merta ia pun menghilang. Sekarang waktunya bagi Rian untuk melawan dan memperlihatkan kemampuan martial artsnya. Beberapa SHP mampu ia lumpuhkan dengan senjatanya, sampai akhirnya ada titik kesempatan  ia melarikan diri dari ruang itu dengan susah payah.

 

            Satu purnama telah berlalu, namun keberadaan Rian masih entah di mana. Sementara, kekacauan di Bumi tak bisa dielakkan. Demikian pula yang terjadi di Planet Kepler 8066. Sebagai dunia paralel, ia senantiasa menyalin apapun di Bumi. Baik kehidupan, kejadian hingga manusianya, persis. Beberapa negara besar mengalami genosida. Profesor Edgard dan bala tentaranya berpuas diri di anomali Laboratoriumnya, yakni di antara Samudra Arktik dan Atlantik, Greenland. Setiap euforia, ia terlihat langsung menghubungi seseorang via telepon selulernya. “Baik, Pak. Kita atur saja nanti hahaha!” ia tutup pembicaraan itu dengan gelak tawa puas bersama timnya. Lapisan es di luar sana seakan mau pecah, aurora turut menampakkan warna suram. Sebentar lagi dunia akan sirna keindahannya. Armagedon yang sengaja diundang. Keserakahan sungguh membutakan hati, padahal tak ada seorangpun yang tahu akan dihasilkannya besok. Boleh jadi bukan kepuasan melainkan kebinasaannya sendiri.

Sepasang mata sendu memperhatikan Profesor Edgard sedari tadi. Hatinya bermuram durja, namun dia tak memiliki daya untuk memberontak. Padahal rindu di hati semakin tak bisa disembunyikan. “Rian…,di manapun kau berada semoga engkau tak apa-apa.”

            “Hiba, apakah kau sudah menyikirkan wanita itu?”

Ia tersadar dari lamunan dan mendekati Profesor Edgard. “Iya ayah, ini, silakan dilihat!” Seperti biasa, wajah dan gestur tubuhnya tenang. Ahli psikolog pasti angkat tangan dengan karakternya. Ia perlihatkan sebuah rekaman video berisi bukti kematian wanita yang dimaksud. Sekali lagi, Profesor Edgard tertawa jelak. Tak lama suara telepon selulernya berbunyi. Kala ia angkat wajahnya tetiba berubah, ia panah gadis yang memanggilnya ayah tadi dengan tatapan gusar.

            “Dasar anak tak berguna!” Tangan itu ia ayunkan ke atas, hampir saja didaratkan ke wajah gadis bernama Hiba tersebut. Hiba menutup matanya, sedang kedua tangannya mengepal. Ia menduga Profesor Edgard telah mengetahui suatu hal.

            “Ada penyusup!” Tanda bahaya memekak telinga. Robot alarm memperingatkan ke seluruh isi ruangan. Suasana berubah seketika. Bala tentara dan tim laboratorium Profesor Edgard bersiaga. Tanpa riuh mondar-mandir panik, mereka sudah siap bersama senjata masing-masing di kala situasi apapun. Beberapa lapis pembatas lorong ke laboratorium otomatis ditutup. Bahkan, beberapa prajurit yang mau melapor dari luarpun tak dibiarkan masuk.

             “Apa kabar, Prof? Sudah lama kita tak bersua, tidak kah kau merindukanku?” Suara familiar seorang laki-laki terseruak ke ruang laboratorium. Tak ketahuan asalnya darimana. Geraham Profesor Edgard gemeretak, pandangannya sedikit nanar memutar setiap sudut. Ia mulai menyelidik setiap prajurit dan tim labnya dengan saksama. Ia yakin laki-laki itu ada di salah satu antara mereka. Atmosfer yang aneh kala setiap mereka pun saling mencurigai. Salah satu prajurit roboh dan lenyap oleh senjata laser yang ditembakkannya. Namun, suara itu tetap muncul mengoceh, Hiba menggeleng pelan ke ayahnya agar tak menembak lagi. Kali ini amarahya kepada Hiba ia simpan. Mencoba tenang walau ia sudah mulai gentar, terutama ketika lampu-lampu penerang tetiba padam. Para prajurit berpencar dan baku hantam terdengar membuyarkan keheningan.

            Unjuk aksi martial arts laki-laki itu terkadang bersiluet ketika senjata laser menerangi sosoknya dalam gelap. Erangan para prajurit terdengar, mereka mulai tumbang dan sirna tiada ampun satu persatu. Kembali lampu-lampu mulai dihidupkan. Profesor Edgard melindungi kedua matanya yang silau dengan tangan kanannya. Saat ia menurunkannya, kentaralah segala hal di sekelilingnya. Para prajurit dan tim labnya tiada, yang tersisa hanya pakaian yang berlumuran darah. Demikianpun dengan senjata laser mereka ikut musnah. Peralatan lab dan properti porak-poranda, rangkaian kabel beberapanya putus dan meninggalkan sisa percikan listrik. Profesor Edgard bergetar, lututnya terasa mau lepas. Laki-laki mengenakan hoodie dan masker hitam itu telah berdiri di depannya. Tangannya tengah menodong Hiba.“Masih ingat padaku, Prof?”

            “Kukira kita bisa mendiskusikannya baik-baik, Rian” Profesor Edgard mencoba bernegosiasi dengan lawannya. Sembari dia beringsut ke lukisan The Night Watch di belakangnya.

            “Apakah kau berdiskusi denganku ketika kau membunuh milyaran jiwa, Prof?” nada suaranya meninggi. Hiba terlihat ketakutan, sebab suara Rian seakan mau meledakkan gendang telinganya.

            “Kau tak bisa membunuhku dan anakku, Rian!”

            “Tak ada yang bisa menghentikanku saat ini, apalagi sekadar membunuh penghianat manis ini._” Rian semakin mendekatkan ujung senjatanya di leher Hiba. Sangat siap picu itu dilepaskan. “Bukankah demikian, Nona Mila? Oh maaf, Hiba. Bahkan, namamu palsu sepalsu dirimu haha!” Rian melanjutkan ucapannya dengan umbaran rasa jijik.

            “Ma-afkan a-ku, Rian!” Hiba mengiba dalam sesal, ada banyak hal yang ingin ia kisahkan, tetapi biarlah kelak Rian akan tahu dengan sendirinya. Salah tetaplah salah, tak bisa ia tarik sudut pandang oranglain sama dengannya. Rian enggan menunjukkan rasa simpatinya kali ini. Ia cengkram tengkuk Hiba, hingga ia terdongak. Picu senjata semakin siap meletuskan pelurunya.

            “Tunggu! Jangan! Ibumu masih hidup!” Profesor Edgard berhasil membuat Rian mengurungkan niatnya.  Ia memencet topi salah satu figur dalam lukisan itu. Ada tombol rahasia, bersamaan itu pula di sebelahnya terbuka sebuah pintu ruangan kaca berbentuk silinder. Perlahan semakin jelas, seorang wanita paruh baya disekap dengan keadaan terduduk dan lemah di sana. Sedikit syukur di hati Profesor Edgard, karena Hiba tak berhasil membunuhnya. Sehingga ia masih memiliki kelemahan Rian di genggamannya.

            “Ma…” Bening itu luruh dari pelupuk matanya. Tak sepatutnya surganya itu berada di sana. Seharusnya ia di rumah yang damai, bersama suami dan anak-anak, serta bersenda gurau dengan cucu-cucunya. Hati Rian berantakan. Ia merasa bersalah yang mendalam. Seandainya ia tak menciptakan benda terkutuk itu, tak mungkin semua ini terjadi.

            “Bagaimana, Rian?” Profesor Edgard merasakan aroma kemenangan.

            “Baiklah, aku terima negosiasimu. Kau lepaskan ibuku, maka aku akan melepaskan penghianat ini.” Kalimat itu semakin menusuk ulu hati Hiba. Sungguh, ia tak mengharapkan Rian mengatakan hal itu padanya.

            Posisi Rian dan sanderanya sudah lurus tepat menghadap ruang di mana ibunya ditahan. Pertukaran itu telah disetujui dalam jarak 10 meter. Perlahan-lahan pintu tabung terbuka. Sosok yang dirindukan Rianpun keluar dengan roman bingung dan ketakutan. Profesor Edgard menyambut wanita itu dengan ekspresi seakan simpati. Ketika masing-masing saling berhadapan, keduanya mulai berjalan berlawanan arah. Mama Rian terlihat mulai menampakkan senyum lebar, ketika ia mengenali ciri-ciri Rian dari kejauhan. Tangannya sudah membentangkan peluk jauh. Rol film kenangan di antara mereka terputar sesaat, menunjukkan adegan seorang anak kecil berumur 3 tahun berlari ke arah pelukannya. Begitu hangat, sehangat susu coklat yang sering ia suguhkan kala hujan turun.

            Suara desingan peluru tetiba membekukan segalanya.

            “Tidak! Ayah!” Tubuh semampai itu memposisikan dirinya sebagai tameng. Ia tersungkur, demikianpun dengan Mama Rian. Dengan hati yang penuh dendam, Rian balas menembakkan senjatanya ke arah penembak hingga ambruk. Profesor Edgard, laki-laki tamak itu sempat memindai seluruh tubuhnya yang mulai mengerjap menuju ketiadaan. Lalu, tangannya ia ayunkan ke arah Hiba yang mengalami hal serupa. Mengapa anak itu terlalu naif, tak berubah hingga akhir. Memegang cinta yang talinya mustahil terjalin hingga kematian menjemputnya. Mama Rian lantas berbalik dan memeluk Hiba yang sebentar lagi musnah. Hiba sempatkan berbisik pada Rian, laki-laki yang ia pikir kelak disandingkan namanya di buku sakral renjana. “R-rian! Aku tak menghianatimu!” Hiba terbata-bata dalam sekarat. Dahinya berkeringat dan matanya memejam perlahan.

            “Pulanglah bersamaku dan Mama, Nona Angkuh!” Rian membelai rambut Hiba dengan lembut hingga akhirnya ia lenyap.

            Hiruk pikuk kota Asgardia pagi ini lebih dari biasanya. Beberapa kereta listrik meliuk melintasi fly Over. Segala macam kendaraan silih berganti berpaspasan pada lajur darat dan udara. Planet Kepler 8066 sepertinya hari ini menampakkan wajahnya yang berseri-seri. Ia ikut serta merasakan hari kebebasan Rian.

Sementara itu, di belahan Bumi bagian Timur, sebuah sepeda motor sport melaju kencang. Ia sangat ingin menjadi yang pertama menyambut Rian. Semenjak insiden berdarah terakhir di laboratorium Profesor Edgard, Rian menyerahkan diri sebagai tanggungjawabnya atas hasil temuannya yang membawa malapetaka. Setelah investigasi penuh akan kasusnya, iapun dinyatakan bebas bersyarat. Sungguh, sejatinya senjata pemusnah masal dibuat bukan untuk membunuh manusia atau makhluk Allah yang lain, melainkan untuk sumber energi listrik alternatif dengan modus yang bisa diatur. Keserakahan beberapa oknumlah yang menjadikannya sangat berbahaya. Sepeda motor itu telah sampai di tujuan. Ia pun melepas helm dan outfit khusus berkendaranya. Kini tampilan femininnya terlihat dengan padanan hijab dan abaya biru pastel, sepanjang jalan tadi banyak yang mengira ia seorang laki-laki. Saat sosok yang ia tunggu keluar dari pagar penjara, ia berlari dan langsung memeluknya. Kepalanya digosok-gosok dengan telapak tangan oleh Rian. “Mama on her way bersama papa. Hehe!”

            “Wah, tau aja kalau abang sedang mencari Mama!” Rian memencet hidungnya. Rian celingak-celinguk, sepertinya ia melihat seseorang yang ia kenal di seberang jalan sana dan lenyap berbarengan dengan kemunculan bus di depannya. Ia berusaha berlari mengejarnya, sia-sia. Ah, mengapa halusinasi selalu memunculkan sosoknya? Setelah 4 tahun berlalu kebenaran terungkap, ia begitu merindukannya. Tetapi, semua telah terjadi. Hidup memang tak selayaknya terkungkung dengan masa lalu yang mengecewakan.

                                                              Tumbang Miri, 28 April 2021

THE END 

Catatan: Cerpen ini meraih peringkat ke 18 di Lomba Cipta Cerpen Nasional Genre Sci-fi yang diselenggarakan oleh IG @inthemicasa

 


IJE KESAH ITALINGAU

Cerpen Zhema 


            Eksotisnya langit malam Tumbang Miri begitu berbeda dari biasanya. Bulan sabit muda telentang di ufuk barat seakan memukul katambung, mengundang semesta bersukacita. Aku bisa edar imaji ke dalam dimensi dunia lain di polesan kanvasnya yang bening, tak ada satupun awan putih yang menghalau pandangan. Momen paling ditunggu dengan kisah dan tokoh yang berbeda dari gemerlap rasi bintang Oreon. Kak Awi, kakak keduaku mulai menceritakan mitologi Yunani sembari telunjuknya mengarah pada gemintang.

  Hanyut dalam alur, sesekali kututup wajahku yang auto tersenyum dengan kedua tangan, kemudian menopangnya ke dagu. Pipiku terasa memanas dan mataku memejam mencelik bergantian. Bagaimana tidak, jika yang menghampiriku adalah seorang pemburu rupawan berbaju zirah berkendara kuda dengan gagahnya.

          “Maukah kau ikut denganku, mempelaiku?” ia ulurkan tangan dengan sangat sopan. Tarikan ke atas dua garis bibir dan tatapan mata elang berwarna hazel membuatnya nampak semakin memesona. Seperti dihipnotis tanganku kujulurkan, menyetujui ajakannya. Antara maya dan nyata beradu dalam durasi menit. Aku cekikikan sendiri, bercampur buncahan rasa yang menggetarkan bilik jantung. Tanpa sadar tubuh Kak Awi di sebelahku bergegar, ia ledakan tawa melihat tingkahku. Sejurus saja aroma tak sedap menyeruak dari mulutnya ketika ia berbisik, sungguh menyebalkan hingga ujung indra penciumanku kupencet. Mencoba protes tetapi lupa jika efek sekapan tanganku mengeluarkan suara persis Donal Bebek, tokoh utama cerita kartun Walt Disney yang sering kami tonton di salah satu saluran TV swasta.

Selang beberapa menit, Kak Awi menyenandungkan Wonderful World dengan suara Donal, dengan lentur kedua tangannya menari ke atas. Tak tahan aku tergelak dan membebek bersamanya, seraya memanah pandangan ke cakrawala kembali. Hingga, hamparan kardus tempat kami rebahan beringsut  ke tengah karatak. Terasa semakin seru, di dukung suasana kampung yang lumayan hening, tidak ada hiruk-pikuk kendaraan. Pucuk dedaunan pohon beringin di tiwing yang tak jauh dari pekarangan rumah, sesekali gemulai diterpa angin sepoi-sepoi. Berbarengan itu pula aku dan Kak Awi menarik napas panjang. Jalan setapak di bawahnya dilalui oleh beberapa pejalan kaki yang lalu-lalang, dibarengi cengkerama hangat yang terdengar jelas lantas lamat-lamat. Entah tentang handep tanam padi, memasang buwu ikan di sungai atau tentang kegiatan lain di kampung. Lampu-lampu jalanan pun tidak ada, melainkan hanya pendaran cahaya dari beberapa lampu teplok kaleng sarden dan Strong King dari ventilasi rumah warga saja. Tak terkecuali di rumahku, lampu teplok kaleng sarden menjadi pilihan walau sudah memiliki mesin diesel. Kata Apa itu demi menghemat bahan bakar, sebab mendatangkannya agak susah dari kota. Butuh sebulan lebih menggunakan kapal dagang.

***

            Larut dalam canda dan menghitung bintang-bintang yang tak pernah menemui kesudahan, tiba-tiba Umai memanggil dengan suara agak keras dari bibir pintu rumah. Kami menengadah ke arahnya, di sebelahnya sudah berdiri seorang wanita tua mengenakan tapih dengan atasan kabaya lusuh berwarna putih pudar. Rekah senyum ramah ciri khasnya seakan menyapu kesedihan yang menyelip di hati seseorang. Dialah Mina kami Indu Marno, saudari hanjenan Umai. Sosok legenda dalam dunia perdongengan di kampung yang aku tunggu-tunggu sebelum lena.

            “Asyik, yuhu!” ucapku kegirangan.

   “Ah, lebih asyik kita bahas mitologi Yunani atau film kartun saja Dai, daripada kisah-kisah kuno,” gumam Kak Awi yang enggan beranjak dari hamparan kardus.  

  “Yey, Kak Awi. Dengar cerita Mina lebih asyik tahu! Tidur enak he-he,” jawabku sembari mengangkat alis.

  “Dasar tukang tidur, wek! Ya sudah kamu ke sana, aku di sini saja dulu.” Kak Awi terlihat kesal, kedua tangannya ia lipat ke belakang kepalanya. Matanya kembali menikmati indahnya angkasa. Namun, dari arah sana Umai masih saja memanggil, membuat Kak Awi tak berdaya dan turut beranjak dengan jengkel. Suara tapak kaki dan seretan kardusnya kisruh. Seakan tak peduli jika Mina bisa saja tersinggung dengan sikap sarkastiknya.

            Sesampainya di teras dekat pintu, aku menggandeng tangan Mina dan membawanya pelan-pelan ke dalam rumah. Diam-diam Umai menasehati Kak Awi yang masih cemberut, diapun akhirnya ikut menuntun tangan Mina bersamaku. Tak banyak kata sepanjang kami menuju loteng rumah.

            Laiknya desain kebanyakan rumah-rumah panggung warga Dayak Ngaju, loteng rumah kami juga difungsikan sebagai tempat tidur. Jadi, jalan untuk ke atas hanya bisa melalui tangga. Mina menolak bantuan kami ketika menaikinya, dengan dalih  dilakukan sendiri itu menyenangkan dan menyehatkan jantung. Sungguh kagum dengan kepribadiannya. Beberapa saat kami sudah berada di kamar, Umai sudah menggelar kasur di lantai lengkap dengan seprei, bantal, guling dan selimutnya. Bukan maksud apa-apa, hanya saja Mina tidak bisa lelap di ranjang.

            Kala dirasa persiapan sebelum tidur sudah lengkap, Minapun mengajak kami rebah. Beliau kami apit bak guling. Sembari membelai rambutku dan Kak Awi, Mina mulai bercerita. Bagian awal yang selalu tak ingin kulewatkan adalah memperhatikan sorot kedua bola matanya yang putih semua. Tampak seperti mega mendung dibalik pendaran lampu teplok kaleng sarden di jihi dinding.

            “Atun ije kesah pas huran tege…” kalimat pembuka dari Mina seperti obat insomnia mujarab. Tuturan kalem dan bersahaja itu membuat mataku ruyup tak tahan, demikian pula dengan Kak Awi yang mulai menikmati suasana ini.

***

            Apa Raja Haring dan Nyai Ratu Kameluh serta para bangsawan telah memadati pinggiran sungai ujian jodoh bagi para putri. Berseberangan di sana, rakyat kerajaan riuh berbisik. Mereka menari manasai ketika beberapa saudariku menyebut gelar suami mereka kala terjatuh dari alu yang diletakkan di atas permukaan sungai.

            “Eh, suamiku Takuluk Pundang!” beberapa kali kakiku mencoba menyusuri alu, tetap saja lisanku lantang menyebut nama seseorang yang aneh muncul begitu saja di pikiran. Padahal keenam saudariku latah menyebut jodoh mereka Adipati, Damang, Tamanggung, Pangkalima, Singa dan Saudagar.  

            Di atas kursi singgasananya, Apa Raja Haring terlihat berang. Baginya ini adalah aib yang memalukan. Laki-laki anonim itu tak pantas menikahi Putir Busu sepertiku. Hingga akhirnya ia tega memerintahkan para pengawal untuk membuangku ke belantara hutan di mana aku termangu sekarang.

Entah berapa sering semak belukar yang daunnya tajam seperti silet telah mencoreng lengan dan kakiku hingga berdarah. Tak dibekali apa-apa bahkan alas kaki sekalipun. Kadang aku terduduk untuk luapkan rasa dengan isakan yang hanya dipedulikan oleh silir angin dengan madah berlariknya. Aku kelelahan dan kelaparan. Paling parah lagi ketika aku tak tahu kakiku melangkah ke arah pemukiman desa seberang ataukah tersesat selamanya.

            Sekitar dua hari sudah aku menyusuri hutan. Jika malam menjelang, aku tidur di bawah pohon-pohon besar. Tak usah bayangkan apa yang kurasakan ketika suara-suara binatang mencekam, terutama ketika sebagian mereka berdesis dan berseliweran tanpa kaki di dekatku. Tak ada yang bisa kuharapkan sebagai penolong selain Hatalla Langit.

Untuk mengganjal perut, aku hanya mengandalkan pucuk dedaunan yang kuanggap bisa dimakan atau beberapa jenis serangga yang kutemui. Sedangkan untuk menghilangkan dahaga, aku bisa berlega sedikit karena ada beberapa anak sungai yang kutemui sepanjang perjalanan. Aku mencoba tegar. Sampai pada senja hari berikutnya, mataku menangkap secercah harap. Ada sebuah gubuk panggung beratap rumbia dan berdinding bambu yang dijalin apik. Di depannya ada sepasang obor sebagai penerang. Kuberanikan diri mendekat dan berniat mengetuk pintunya. Aku sangat yakin penghuni gubuk ini ada di dalamnya.

Dengan semangat aku mengetuk, tak berapa lama sahutan dari dalam mempersilakan aku untuk masuk. Sepertinya dia seorang laki-laki. Jika keadaanku tak begitu lemah, mungkin kuurungkan ke dalam.

“Pergilah ke dapur, ada hidangan untukmu!” ucapnya ketika aku menyapu seisi ruangan dengan tatapan nanar. Kelaparan ataukah terlalu bodoh, aku mengikuti saja tawarannya. Betul saja, di atas sebuah meja lesehan dapur, ada beberapa hidangan terlihat lezat dan hangat. Sengaja tak ditudung rupanya. Aku duduk pelan-pelan dan menyantapnya setelah mengucapkan terima kasih atas kebaikan si empunya gubuk.

Perut kekenyangan akupun tertidur. Waktu berjalan menuju tengah malam, aku terbangun karena ingin buang air kecil. Mataku mencoba memindai segala sudut untuk mencari tempat, nihil. Ingin memutuskan untuk tidur kembali, namun pendaran sinar keemasan dari dalam kamar pemilik gubuk membuatku sangat penasaran. Aku mencoba masuk dengan hati-hati, takut pemiliknya marah dan mengusirku. Syukur dia tidak ada di sana. Aku semakin mendekat dan mencoba mengambil benda tersebut. Ternyata itu adalah sebuah jubah bersisik mirip ikan. Seketika bulu kudukku merinding, aku keluar kamar dan pergi ke dapur kembali. Kucoba nyalakan api di perapian, agar bisa melihatnya dengan jelas. Sebab terlalu dekat, tak dinyana ujung jubah itu terbakar. Kucoba meniupnya malah semakin melumat seluruh jubah. Bersamaan sisa pembakaran, kepingan sisik logam emas berjatuhan. Aku terperanjat dengan apa yang kulihat. Apakah aku telah berada di dunia gaib atau apa?

“Apa yang telah kaulakukan dengan jubahku?” suara laki-laki di belakangku terdengar sangat geram. Aku berpaling ke arahnya gemetar. Saat sosok itu terlihat sepenuhnya, ketakutanku luruh. Dia bak ratna mutu manikam, sempurna. Aku tertunduk malu namun merasa sangat bahagia seketika. Mungkin sekarang keadaan pipiku memerah.

***

Ketika aku mencoba minta maaf, suasana yang anehpun terjadi. Latar di dekatku berubah seketika. Sayup-sayup suara teman-temanku terdengar  memanggil dari balik badan laki-laki ini yang semakin memudar dari pandangan.

“Adai, sekarang giliranmu bercerita!” aku mengusap-usap mataku perlahan. Di depanku sudah berdiri Bu Manyang, guru Bahasa Indonesiaku. Tak tahu berapa lama sudah dia berada di sana. Tetapi, sepertinya cukup mengkhawatirkan bila dilihat dari cekikan teman-teman sekelasku.

Ketika giliranku bercerita, seisi ruangan kelas begitu antusias, begitu pula dengan Bu Manyang. Maklum, cerita rakyat yang kubawakan seakan hal baru bagi mereka. Bukan ceritanya yang tidak ada, namun banyak orangtua yang melupakan kebiasaan mendongeng cerita daerahnya ke anak keturunannya.

“Adai, kamu berbakat jadi pendongeng, Nak. Ibu senang sekali kamu banyak tahu cerita rakyat Kalimantan Tengah.” Bu Manyang menarik napas bangga.

“Lestarikan ya!” timpalnya sembari tersenyum penuh makna. Aku menggangguk pasti, pandanganku kulayangkan keluar dari jendela kelas. Ada cita-cita yang dilambungkan ke langit masa depan. Sebuah kreatifitas yang tumbuh dari cerita-cerita bermoral Dayak Ngaju. 

Tumbang Miri, 18 Mei 2021

 THE END

Catatan: Cerpen ini meraih peringkat ke 27 dari 145 naskah cerpen yang diselenggarakan oleh ytprayeh.com 








MENGEJAR DAN DIKEJAR CINTA
          Cerpen Zhema

Tangisan Reina menjadi-jadi kali ini. Belaian lembut Lala sahabatnya di rambut hitam pekat bergelombangnya, hampir tak ia rasakan. Semua terjadi karena amukan segala rasa membuatnya seakan-akan di tarik ke gurun Sahara. Gersang segersang hatinya. Sedih mungkin bisa sembuh nantinya. Namun, tombol merah rasa malu seumur hidup 'kan ia sandang mulai sekarang. Lala pun hanya terdiam seribu bahasa, bagaimana caranya menentramkan sahabat satu-satunya itu? Ia rindu keceriaan dan kekonyolan bersamanya lagi. Ia tatap lekat-lekat Reina yang masih bersimpuh telungkup, ada gambar pulau Kalimantan remang-remang telah tergambar alami di bantal yang ia peluk. Pasukan bulir bening dari kelopak matanya enggan berhenti. Di depan pintu terdengar ketukan lembut penuh kehati-hatian, itu mama. Pintu kamar perlahan-lahan di buka.

"TRIIT TREET!" bahkan suara pintu dibuka yang biasa ia dengar tiap hari, pun terasa sedang meledek padanya.

"Pstt!" Mama mengkode Lala untuk bergeser sedikit. Kini belaian itu lebih hangat dari tangan sebelumnya.

"Laki-laki kodratnya mengejar bukan dikejar sayang." Reina buru-buru menepis tangan mama, berusaha duduk di kasur single bed berwarna pink senada dengan asesoris dan warna cat di kamarnya itu.

"Ma..., apakah Reina tak cantik?"

"Hey, kok bilang begitu? Tentu anak mama cantik. Kebangetan malahan." binar mata dan senyum mama yang menenangkan, kini mampu mengurangi airmatanya.

"Hmm...yang terjadi biarkan terjadi, jangan berlarut ya. Menurut mama Rayhan anak yang saleh. Kita lihat saja 'kan apa kelak maunya..."

Bola mata indah Reina ke kiri dan ke kanan. Ia amati wajah mama yang kerap ia abaikan segala petuah agamanya.

"Maafkan Reina ya Ma." Reina memeluk erat mama. Kedua mata sipitnya bersiluet menembus pendaran sinar matahari dari arah luar, menanggalkan seragam putih-abu-abunya. Sehingga sampai pada warsa di mana ia sudah wisuda Strata 1 bersama Lala, yang ia rasakan dari balik punggung seorang mama. Seorang single parent tangguh pantang mengeluh dan keren. Ia mampu menempatkan diri 'tuk selalu menjadi sahabat anak semata wayangnya yang tengah patah hati gegara cintanya ditolak sang idola di sekolah.

"Selamat ya Rein." Silih berganti warna mawar artificial tunggal itu nangkring di tangannya, dari segenggam sampai seukuran pelukan. Reina gadis populer di kampus, tentu hal itu biasa terjadi. Tetapi siapa yang menyana, bisa saja cintanya ditolak oleh seorang laki-laki. Ajaibnya sulur-sulur cintanya tak padam walau sudah sangat kecewa. Baginya Rayhan begitu istimewa yang tak dimiliki laki-laki lain. Setiap saat lelaki itu selalu ada saat ia kesulitan. Tak terhitung jumlah kebetulan, tapi mengapa ia menolak cinta Reina? Jika tak memiliki rasa cinta seharusnya jangan memberikan harapan palsu.

"Rei...n, kita foto bareng yuk!" Sekelompok gadis hijaber mendatanginya. Mereka adalah teman satu halakah pengajian di Masjid kampus. Garis di bibirnya kini melengkung ke atas. Begitu damai rasanya ketika berada bersama mereka. Hilang gulana hati.

" Selamat ya Rein. Oh iya, aku..." Mbak Nur, nama salah satu gadis itu tak bisa melanjutkan omongannya. Matanya melirik ke arah laki-laki yang berdiri dekat motor matic hitam putih di parkiran tak jauh dari mereka. Ia melambai dengan senyum lebar. Kemudian mengangguk. Reina pun menikmati adegan singkat yang misterius itu. Itu siapanya Mbak Nur dan anggukan itu artinya apa? Ia pun turut melirik tetapi wajah lelaki itu tak jelas karena mengenakan helm hingga menutupi seluruh wajahnya.

"Siapa sih Mbak?" Tanya Reina penasaran akut.  Kerudung berwarna navy yang ia kenakan dibelai angin sepoi-sepoi. Ia menahan pelan topi toganya agar tak jatuh. Sungguh tak ada yang lebih indah pemandangan di Joglo kampus itu sekarang selain kecantikan Reina.

"Hmm ada deh! Nanti malam kami akan ke rumahmu, boleh kan?" Tentu saja Reina tak 'kan mungkin menolak sahabat yang dia anggap seperti kakaknya sendiri. Mbak Nur selama ini yang banyak mendukung dan menguatkannya.

"Boleh dong, Mbak. Reina sangat senaaang Mbak ke rumah Reina." Kedua sahabat itu melanjutkan foto bersama yang lain.
***
"Ayolah Reina, kembalilah ke ruang tamu. Kasihan Ray dan keluarganya menunggu lama." Mama membujuk Reina yang kini sembab matanya.

"Untuk apa, ma? Dia tiba-tiba muncul dan melamar? Mama kan tahu dia..." Hati Reina bergemuruh. Rasa kecewa yang dulu sisakan secuil dendam.

"Iya mama tahu, sayang. Tetapi..., kamu harusnya mengerti, ini Rayhan lakukan demi menjaga martabatmu dan mama." Tangan kanannya menepuk punggung Reina yang sedari tadi berdiri dan mendengus menghadap dinding kamar.

"Mama jangan membela dia! Aku yang anak mama bukan Rayhan!"

"Mama berkata apa adanya, Reina. So please anak mama dewasa dong dalam hal ini.__"

"Kamu tak tahu bagaimana Rayhan berikhtiar bahkan menjadi driver OJOL selama ini demi bisa melamarmu?" Mama menghentikan kalimatnya, karena Reina membalikkan badan dengan cepat ke arahnya, kedua matanya tiba-tiba membulat dan hampir lepas dari rongganya.

"Apa, Ma?!" Reina bernapas tersengal mendengar penjelasan mamanya yang panjang. Tak pikir berapa kali lagi, ia bergegas keluar kamar dan menemui tamunya. Mamapun mengejar khawatir Reina meledakkan amarahnya. Rayhan berdiri dengan santun. Seakan ingin menjelaskan duduk perkara.

"Kamu jahat, Ray. Kamu juga Mbak Nur. Mengapa berbohong!" Sepasang suami-istri paruh baya di samping Mbak Nur hanya bisa saling bertatapan. Tak ingin ikut campur karena mereka percaya Rayhan anak sulung mereka itu mampu mengatasi masalahnya sendiri. Mbak Nur bangkit dari tempat duduknya dan hendak memeluk Reina.

"Maafkan, aku ya Rein. Ini permintaan Dik Rayhan." Reina hanya membisu. Dalam waktu singkat ia ingin memutuskan melanjutkan kemarahan atau memilih memaafkan. Ini hanya masalah prinsip yang Rayhan pegang sebagai laki-laki. Apalagi ia seorang yang mengerti ilmu agama. Mengejar lebih baik daripada dikejar. Seorang gadis seperti Reina harusnya paham hal ini. Apalagi sudah pun berhijrah menjadi gadis saleha.

"Baiklah, Rein terima maafnya demikianpun Ray. Tetapi, Rein harus memberi sanksi pada Ray. Berilah mahar termahal untukku nanti." Reina pura-pura angkuh dan tersenyum geli. Mbak Nur auto mundur karena kaget. Bagaimana mungkin adiknya yang orang biasa mampu memberikan mahar termahal.

"Baiklah, akan aku turuti semampuku." Entah kekuatan apa yang telah membuat Rayhan menjawab tanpa cemas sama sekali akan permintaan mustahil Reina. Kedua orangtua Rayhan, Mbak Nur dan Mama tercenung dalam bimbang. Reina kemudian melangkah ke arah sofa yang berseberangan dengan Rayhan dan calon mertuanya. Ia pun duduk dengan santai dan sopan.

"Maharnya yaitu hafalan Surah Ar-Rahman!" Ya Rabb, Reina barusan ngeprank ternyata. Mereka pun berbarengan tersenyum lega. 
                                                                                                                                                                            Tumbang Miri, 05 Juni 2020
THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Real Dead People

"I see dead people"--The Sixth Sense Ambling! Hustling! When my soul wandering all the lands and oceans, My wings couldn't stop peace on them for long: scared. None of the people I met had normal eyes, Their skin were pale, "Hey, buddy! Look at me!" I shouted to them but silent I gotten. For the second thought trying, "Hey, sweetheart! Look at me!" I shouted to them, they stopped walking; Stepped closer emotionless. Trembling feelings in my legs, Then the heart beating hard, "What's going on to these people?" I threw a spear from my eyes, One of the beautiful girls said, "Bring me back to life, please?" Hence, my body and soul awakened. I sat on the park bench and thought, Hugged myself tightly, There, roughly ten o'clock position from me; car crashed sounds. I rushed and found a cat, bleeding on the asphalt road, "Just throw it in the garbage bin, dude" he said. My teeth chattered: hea

Your Wound Will Be Healed

"Why take any longer The feeling's getting stronger No, I can't wait. I can't wait anymore! Cause Today Is Yesterday's Tomorrow"--Michael Buble Standing squarely before my mirror, I ask you as the shadow of mine, How could you pretend smile? Meanwhile, your open wound uncleaned; Yellowish-red, To strive, to seek and find a bandage. Please one step ahead! 'Don't expel me' you said, We need to go to the library, Finding a book of God's: Beautiful in cover, light you heart, Thus, you will forget me. No! Dear, I can't stand it, Without you i'm nothing, Everything is blue. Don't hate me! Cause you cannot go alone, I know the feeling's getting stronger, Just stay here, your wound will be healed: I love you. ©zhema

Tuan Hati

Puisi Zhema Berdiri di jembatan angkat Kota Tua Berjebah segala kapal jauh akan melewatinya; Hanya satu yang kutunggu, dia si Tuanhati Menjanjikanku untuk cuat pinangan. Hari-hari ini atau masa depan. M-7 dalam deret morse namamu: Raihlah tanganku segera! Ya Tuhan, benda-benda tanpa kabel itu! Meruntuhkan batas tembokku, Tanpa ampun, tanpa waktu luang, Dia menarikku paksa ke dalam cintanya. Aksara indah tak semerta milik pujangga, Ia luruh dalam cinta sepasang kekasih; Yang simpuh di atas sajadah kembar (jambu merah dan biru berplankton) Tuanhati, datanglah dengan kapalmu! Berdirilah di STEM bergeming dan gagah, Agar mataku hanya menangkap objekmu. Pun, biarkan dunia tahu, Keciutan hati bukan caramu, Katakan pada mereka cincin tersimpan: Berkemilau,indah dan hanya milikku. Ya Tuanhati! Ambillah Visa, Bentangkan layar kapalmu pulang! Sambangi aku dalam gaun putih, menetaplah. Suara Camar dan bunyi rebana adu ceria; Seakan engkaulah putra mahkota, Mereka