Cerpen Zhema
Mei 2020, awal kegemparan itu terjadi. Ilmuwan
NASA menemukan dunia paralel di Antartika. Penyangkalan hasil penelitian pun
dilakukan demi meredam kekisruhan. Sementara itu, seorang pemuda lulusan Teknik
Informatika Universitas Indonesia—Rian Panenga—diam-diam diincar para ilmuwan
elit dunia. Kunci dunia paralel atau lebih dikenal dengan Planet Kepler 8066
itu ada padanya. Tidak hanya itu, Rian juga menemukan berbagai jenis senjata
laser modern dengan fungsi berbeda. Pemusnah masal salah satu senjatanya yang
paling diburu hingga nyawanya terancam. Anggota keluarganya sudah ada yang
terbunuh. Namun, Rian tak punya pilihan selain melindungi temuannya dari
tangan-tangan perusak. Lima kali melewati bulan Ramadan ini, ia selalu
berteleportasi di Bumi, kemudian ke Planet Kepler 8066. Dia tidak sendiri,
melainkan bersama seorang gadis yang sama sepertinya, Mila. Si Einstein yang
mengenakan profesi gamer sebagai
identitasnya.
Secret
Positioning System di kuku jempol tangan kanan Rian berpendar terang,
hingga lorong Laboratorium Super Humans’
Prototype yang sudah tinggal reruntuhan dan gelap semakin terlihat dengan
jelas. Mila terbelalak penasaran dan memajukan dagunya kearah Rian. Mereka
terjebak di sana sudah beberapa hari. Tak ada asupan energi, sebab persediaan
makanan dan minuman ikut serta hancur akibat ledakan senjata pemusnah masal
dengan skala kecil lantaran si penghianat—Profesor Edgard. “Kita harus ke Bumi,
Profesor Edgard akan—” Sengatan listrik dari StunGun yang diarahkan seseorang padanya, membuat tubuh Rian limbung
dan ambruk seketika.
“Rian!” dengan sisa tenaga yang dimiliki, Mila mencoba
menggegarkan badannya tetapi sia-sia. Sedikit demi sedikit kelopak matanya
menutup, hingga pandangannya semakin gelap, berikut suara Mila pun samar dan
lenyap. Alat monitor hemodinamik dan saturasi terdengar memecah keheningan. Rian
mengerjap-ngerjap kedua bola matanya pelan. Suara napasnya terdengar memantul
ke Oxygen Mask hingga mengembun. Ia
sapu seisi ruangan bernuansa serba putih pualam tersebut. Sekitar 2 meter
sebelah kanan pembatas gorden bed, ada seorang wanita mengenakan blazer
hitam senada dengan celana panjang dan high
heelsnya. Ia tampak melipat tangan di dadanya. Hampir tak kasat mata,
disebabkan sofabed yang ia duduki pun
berwarna hitam. Tatapan tenang, sesekali bulu mata lentik itu seakan
menari-nari kala kelopaknya mengerdip setiap 0,4 detik. Mimik wajah tak
berekspresi itu ia edar keluar jendela di sisinya.
“Di mana ini? Mila.…” Rian berusaha duduk dan melepas Oxygen Mask dari wajahya. Saat jarum infus di tangannya hendak
ia lepas, upayanya dicegat oleh wanita itu. Sangat cekatan, ia menembakkan senjata
laser pembeku ke kedua tangan Rian sampai tak bisa digerakkan sama sekali.
“Maafkan aku, Rian. Aku tak punya pilihan.” Ia masih
todongkan senjata itu ke arah Rian dengan roman dingin. Rian dibuat bingung
atas perihal di depannya. Mengapa Mila berpenampilan beda? Memori singkat Rian
memperlihatkan kejadian terakhir sebelum ia tersungkur. Apakah ada seseorang
dibalik perubahan ini? Mungkinkah perjalanan mereka yang sudah sangat
melelahkan ini turut merancu isi kepalanya?
“Argg! Apa-apaan ini, Mila? Lepaskan!” Tangan Rian semakin
berat, ia mencoba keras untuk terlepas, tetapi gagal.
“Dengar! Jika kauingin masih bisa menghirup udara, maka
turuti perkataanku!” Mila semakin serius, pelatuk senjatanya sudah siap
dilepaskan jika ia mendapatkan penolakan.
Rian menundukkan kepalanya sejenak dan mendongak tegas ke
Mila, deret gigi putihnya terlihat kala ia tersenyum lebar. Sepersekian detik
detak jantung Mila tak berdamai, ia tepis buncahan rasa itu di hatinya. “Apa
yang harus kulakukan, Nona Mila?” Rian menyeringai.
“Kit—!” Tak ia nyana ternyata Rian sudah merebut senjata
di tangannya dan menodong balik. Mila sontak mundur dengan gestur kedua
tangannya menahan Rian agar tidak menembak.
“Kaulupa Nona, senjata ini akulah yang membuatnya! Tentu
aku tau cara mengendalikannya.” Tenggorokan Mila terlihat menonjol sedikit, pandangannya
tak ia lepas dari benda mematikan di depannya. Pelan-pelan ia tersimpuh di
hadapan Rian. Tetapi, janganlah lupa seekor serigala tidak pernah betah dengan
mantel dombanya. Ia meluncurkan tendangannya ke kaki Rian. Rian mengelak, jarum
infus itu puput dengan sendirinya. Rian sempat mengerang pelan. Tendangan kaki Mila
meleset dan menghancurkan permukaan atas bedside
cabinet di belakang Rian.
Pertarungan yang cukup sengit, Mila akhirnya memilih berhenti sesaat.
Gerakannya begitu halus ketika jam tangan digitalnya ia tekan, lantas muncul
beberapa Super Human’s Prototype berpakaian
Ninja di ruangan itu. Serta-merta ia pun menghilang. Sekarang waktunya bagi
Rian untuk melawan dan memperlihatkan kemampuan martial artsnya. Beberapa SHP mampu ia lumpuhkan dengan senjatanya,
sampai akhirnya ada titik kesempatan ia melarikan
diri dari ruang itu dengan susah payah.
Satu purnama telah berlalu, namun keberadaan Rian masih
entah di mana. Sementara, kekacauan di Bumi tak bisa dielakkan. Demikian pula
yang terjadi di Planet Kepler 8066. Sebagai dunia paralel, ia senantiasa
menyalin apapun di Bumi. Baik kehidupan, kejadian hingga manusianya, persis. Beberapa
negara besar mengalami genosida. Profesor Edgard dan bala tentaranya berpuas
diri di anomali Laboratoriumnya, yakni di antara Samudra Arktik dan Atlantik, Greenland.
Setiap euforia, ia terlihat langsung menghubungi seseorang via telepon
selulernya. “Baik, Pak. Kita atur saja nanti hahaha!” ia tutup pembicaraan itu
dengan gelak tawa puas bersama timnya. Lapisan es di luar sana seakan mau pecah,
aurora turut menampakkan warna suram. Sebentar lagi dunia akan sirna
keindahannya. Armagedon yang sengaja diundang. Keserakahan sungguh membutakan
hati, padahal tak ada seorangpun yang
tahu akan dihasilkannya besok. Boleh jadi bukan kepuasan melainkan
kebinasaannya sendiri.
Sepasang mata sendu memperhatikan
Profesor Edgard sedari tadi. Hatinya bermuram durja, namun dia tak memiliki
daya untuk memberontak. Padahal rindu di hati semakin tak bisa disembunyikan.
“Rian…,di manapun kau berada semoga engkau tak apa-apa.”
“Hiba,
apakah kau sudah menyikirkan wanita itu?”
Ia tersadar dari
lamunan dan mendekati Profesor Edgard. “Iya ayah, ini, silakan dilihat!”
Seperti biasa, wajah dan gestur tubuhnya tenang. Ahli psikolog pasti angkat
tangan dengan karakternya. Ia perlihatkan sebuah rekaman video berisi bukti
kematian wanita yang dimaksud. Sekali lagi, Profesor Edgard tertawa jelak. Tak
lama suara telepon selulernya berbunyi. Kala ia angkat wajahnya tetiba berubah,
ia panah gadis yang memanggilnya ayah tadi dengan tatapan gusar.
“Dasar
anak tak berguna!” Tangan itu ia ayunkan ke atas, hampir saja didaratkan ke
wajah gadis bernama Hiba tersebut. Hiba menutup matanya, sedang kedua tangannya
mengepal. Ia menduga Profesor Edgard telah mengetahui suatu hal.
“Ada
penyusup!” Tanda bahaya memekak telinga. Robot alarm memperingatkan ke seluruh
isi ruangan. Suasana berubah seketika. Bala tentara dan tim laboratorium Profesor
Edgard bersiaga. Tanpa riuh mondar-mandir panik, mereka sudah siap bersama
senjata masing-masing di kala situasi apapun. Beberapa lapis pembatas lorong ke
laboratorium otomatis ditutup. Bahkan, beberapa prajurit yang mau melapor dari
luarpun tak dibiarkan masuk.
“Apa kabar, Prof? Sudah lama kita tak bersua,
tidak kah kau merindukanku?” Suara familiar seorang laki-laki terseruak ke
ruang laboratorium. Tak ketahuan asalnya darimana. Geraham Profesor Edgard
gemeretak, pandangannya sedikit nanar memutar setiap sudut. Ia mulai menyelidik
setiap prajurit dan tim labnya dengan saksama. Ia yakin laki-laki itu ada di
salah satu antara mereka. Atmosfer yang aneh kala setiap mereka pun saling
mencurigai. Salah satu prajurit roboh dan lenyap oleh senjata laser yang
ditembakkannya. Namun, suara itu tetap muncul mengoceh, Hiba menggeleng pelan
ke ayahnya agar tak menembak lagi. Kali ini amarahya kepada Hiba ia simpan. Mencoba
tenang walau ia sudah mulai gentar, terutama ketika lampu-lampu penerang tetiba
padam. Para prajurit berpencar dan baku hantam terdengar membuyarkan keheningan.
Unjuk
aksi martial arts laki-laki itu terkadang bersiluet ketika senjata laser
menerangi sosoknya dalam gelap. Erangan para prajurit terdengar, mereka mulai
tumbang dan sirna tiada ampun satu persatu. Kembali lampu-lampu mulai
dihidupkan. Profesor Edgard melindungi kedua matanya yang silau dengan tangan
kanannya. Saat ia menurunkannya, kentaralah segala hal di sekelilingnya. Para
prajurit dan tim labnya tiada, yang tersisa hanya pakaian yang berlumuran
darah. Demikianpun dengan senjata laser mereka ikut musnah. Peralatan lab dan
properti porak-poranda, rangkaian kabel beberapanya putus dan meninggalkan sisa
percikan listrik. Profesor Edgard bergetar, lututnya terasa mau lepas. Laki-laki
mengenakan hoodie dan masker hitam
itu telah berdiri di depannya. Tangannya tengah menodong Hiba.“Masih ingat
padaku, Prof?”
“Kukira
kita bisa mendiskusikannya baik-baik, Rian” Profesor Edgard mencoba bernegosiasi
dengan lawannya. Sembari dia beringsut ke lukisan The Night Watch di
belakangnya.
“Apakah
kau berdiskusi denganku ketika kau membunuh milyaran jiwa, Prof?” nada suaranya
meninggi. Hiba terlihat ketakutan, sebab suara Rian seakan mau meledakkan
gendang telinganya.
“Kau
tak bisa membunuhku dan anakku, Rian!”
“Tak
ada yang bisa menghentikanku saat ini, apalagi sekadar membunuh penghianat
manis ini._” Rian semakin mendekatkan ujung senjatanya di leher Hiba. Sangat
siap picu itu dilepaskan. “Bukankah demikian, Nona Mila? Oh maaf, Hiba. Bahkan,
namamu palsu sepalsu dirimu haha!” Rian melanjutkan ucapannya dengan umbaran
rasa jijik.
“Ma-afkan
a-ku, Rian!” Hiba mengiba dalam sesal, ada banyak hal yang ingin ia kisahkan,
tetapi biarlah kelak Rian akan tahu dengan sendirinya. Salah tetaplah salah,
tak bisa ia tarik sudut pandang oranglain sama dengannya. Rian enggan
menunjukkan rasa simpatinya kali ini. Ia cengkram tengkuk Hiba, hingga ia
terdongak. Picu senjata semakin siap meletuskan pelurunya.
“Tunggu!
Jangan! Ibumu masih hidup!” Profesor Edgard berhasil membuat Rian mengurungkan
niatnya. Ia memencet topi salah satu
figur dalam lukisan itu. Ada tombol rahasia, bersamaan itu pula di sebelahnya
terbuka sebuah pintu ruangan kaca berbentuk silinder. Perlahan semakin jelas, seorang
wanita paruh baya disekap dengan keadaan terduduk dan lemah di sana. Sedikit
syukur di hati Profesor Edgard, karena Hiba tak berhasil membunuhnya. Sehingga
ia masih memiliki kelemahan Rian di genggamannya.
“Ma…”
Bening itu luruh dari pelupuk matanya. Tak sepatutnya surganya itu berada di
sana. Seharusnya ia di rumah yang damai, bersama suami dan anak-anak, serta
bersenda gurau dengan cucu-cucunya. Hati Rian berantakan. Ia merasa bersalah
yang mendalam. Seandainya ia tak menciptakan benda terkutuk itu, tak mungkin
semua ini terjadi.
“Bagaimana,
Rian?” Profesor Edgard merasakan aroma kemenangan.
“Baiklah,
aku terima negosiasimu. Kau lepaskan ibuku, maka aku akan melepaskan penghianat
ini.” Kalimat itu semakin menusuk ulu hati Hiba. Sungguh, ia tak mengharapkan
Rian mengatakan hal itu padanya.
Posisi
Rian dan sanderanya sudah lurus tepat menghadap ruang di mana ibunya ditahan.
Pertukaran itu telah disetujui dalam jarak 10 meter. Perlahan-lahan pintu
tabung terbuka. Sosok yang dirindukan Rianpun keluar dengan roman bingung dan
ketakutan. Profesor Edgard menyambut wanita itu dengan ekspresi seakan simpati.
Ketika masing-masing saling berhadapan, keduanya mulai berjalan berlawanan arah.
Mama Rian terlihat mulai menampakkan senyum lebar, ketika ia mengenali
ciri-ciri Rian dari kejauhan. Tangannya sudah membentangkan peluk jauh. Rol
film kenangan di antara mereka terputar sesaat, menunjukkan adegan seorang anak
kecil berumur 3 tahun berlari ke arah pelukannya. Begitu hangat, sehangat susu
coklat yang sering ia suguhkan kala hujan turun.
Suara
desingan peluru tetiba membekukan segalanya.
“Tidak!
Ayah!” Tubuh semampai itu memposisikan dirinya sebagai tameng. Ia tersungkur,
demikianpun dengan Mama Rian. Dengan hati yang penuh dendam, Rian balas
menembakkan senjatanya ke arah penembak hingga ambruk. Profesor Edgard, laki-laki
tamak itu sempat memindai seluruh tubuhnya yang mulai mengerjap menuju
ketiadaan. Lalu, tangannya ia ayunkan ke arah Hiba yang mengalami hal serupa.
Mengapa anak itu terlalu naif, tak berubah hingga akhir. Memegang cinta yang
talinya mustahil terjalin hingga kematian menjemputnya. Mama Rian lantas
berbalik dan memeluk Hiba yang sebentar lagi musnah. Hiba sempatkan berbisik pada
Rian, laki-laki yang ia pikir kelak disandingkan namanya di buku sakral renjana.
“R-rian! Aku tak menghianatimu!” Hiba terbata-bata dalam sekarat. Dahinya
berkeringat dan matanya memejam perlahan.
“Pulanglah
bersamaku dan Mama, Nona Angkuh!” Rian membelai rambut Hiba dengan lembut
hingga akhirnya ia lenyap.
Hiruk
pikuk kota Asgardia pagi ini lebih dari biasanya. Beberapa kereta listrik
meliuk melintasi fly Over. Segala
macam kendaraan silih berganti berpaspasan pada lajur darat dan udara. Planet
Kepler 8066 sepertinya hari ini menampakkan wajahnya yang berseri-seri. Ia ikut
serta merasakan hari kebebasan Rian.
Sementara itu, di
belahan Bumi bagian Timur, sebuah sepeda motor sport melaju kencang. Ia sangat ingin menjadi yang pertama
menyambut Rian. Semenjak insiden berdarah terakhir di laboratorium Profesor
Edgard, Rian menyerahkan diri sebagai tanggungjawabnya atas hasil temuannya
yang membawa malapetaka. Setelah investigasi penuh akan kasusnya, iapun
dinyatakan bebas bersyarat. Sungguh, sejatinya senjata pemusnah masal dibuat
bukan untuk membunuh manusia atau makhluk Allah yang lain, melainkan untuk
sumber energi listrik alternatif dengan modus yang bisa diatur. Keserakahan beberapa
oknumlah yang menjadikannya sangat berbahaya. Sepeda motor itu telah sampai di
tujuan. Ia pun melepas helm dan outfit
khusus berkendaranya. Kini tampilan femininnya terlihat dengan padanan hijab
dan abaya biru pastel, sepanjang jalan tadi banyak yang mengira ia seorang
laki-laki. Saat sosok yang ia tunggu keluar dari pagar penjara, ia berlari dan
langsung memeluknya. Kepalanya digosok-gosok dengan telapak tangan oleh Rian. “Mama
on her way bersama papa. Hehe!”
“Wah, tau aja kalau abang sedang mencari Mama!” Rian memencet hidungnya. Rian celingak-celinguk, sepertinya ia melihat seseorang yang ia kenal di seberang jalan sana dan lenyap berbarengan dengan kemunculan bus di depannya. Ia berusaha berlari mengejarnya, sia-sia. Ah, mengapa halusinasi selalu memunculkan sosoknya? Setelah 4 tahun berlalu kebenaran terungkap, ia begitu merindukannya. Tetapi, semua telah terjadi. Hidup memang tak selayaknya terkungkung dengan masa lalu yang mengecewakan.
Tumbang Miri, 28 April 2021
THE END
Catatan: Cerpen ini meraih peringkat ke 18 di Lomba Cipta Cerpen Nasional Genre Sci-fi yang diselenggarakan oleh IG @inthemicasa
Cerpen Zhema
Eksotisnya
langit malam Tumbang Miri begitu berbeda dari biasanya. Bulan sabit muda
telentang di ufuk barat seakan memukul katambung,
mengundang semesta bersukacita. Aku bisa edar imaji ke dalam dimensi dunia lain
di polesan kanvasnya yang bening, tak ada satupun awan putih yang menghalau
pandangan. Momen paling ditunggu dengan kisah dan tokoh yang berbeda dari
gemerlap rasi bintang Oreon. Kak Awi, kakak keduaku mulai menceritakan mitologi
Yunani sembari telunjuknya mengarah pada gemintang.
Hanyut dalam alur, sesekali
kututup wajahku yang auto tersenyum dengan kedua tangan, kemudian menopangnya
ke dagu. Pipiku terasa memanas dan mataku memejam mencelik bergantian. Bagaimana
tidak, jika yang menghampiriku adalah seorang pemburu rupawan berbaju zirah berkendara
kuda dengan gagahnya.
“Maukah
kau ikut denganku, mempelaiku?” ia ulurkan tangan dengan sangat sopan. Tarikan
ke atas dua garis bibir dan tatapan mata elang berwarna hazel membuatnya nampak semakin memesona. Seperti dihipnotis
tanganku kujulurkan, menyetujui ajakannya. Antara maya dan nyata beradu dalam
durasi menit. Aku cekikikan sendiri, bercampur buncahan rasa yang menggetarkan
bilik jantung. Tanpa sadar tubuh Kak Awi di sebelahku bergegar, ia ledakan tawa
melihat tingkahku. Sejurus saja aroma tak sedap menyeruak dari mulutnya ketika
ia berbisik, sungguh menyebalkan hingga ujung indra penciumanku kupencet.
Mencoba protes tetapi lupa jika efek sekapan tanganku mengeluarkan suara persis
Donal Bebek, tokoh utama cerita kartun Walt
Disney yang sering kami tonton di salah satu saluran TV swasta.
Selang beberapa menit, Kak
Awi menyenandungkan Wonderful World dengan
suara Donal, dengan lentur kedua tangannya menari ke atas. Tak tahan aku tergelak
dan membebek bersamanya, seraya memanah pandangan ke cakrawala kembali. Hingga,
hamparan kardus tempat kami rebahan beringsut
ke tengah karatak. Terasa semakin
seru, di dukung suasana kampung yang lumayan hening, tidak ada hiruk-pikuk
kendaraan. Pucuk dedaunan pohon beringin di
tiwing yang tak jauh dari pekarangan
rumah, sesekali gemulai diterpa angin sepoi-sepoi. Berbarengan itu pula aku dan
Kak Awi menarik napas panjang. Jalan setapak di bawahnya dilalui oleh beberapa
pejalan kaki yang lalu-lalang, dibarengi cengkerama hangat yang terdengar jelas
lantas lamat-lamat. Entah tentang handep
tanam padi, memasang buwu ikan di
sungai atau tentang kegiatan lain di kampung. Lampu-lampu jalanan pun tidak
ada, melainkan hanya pendaran cahaya dari beberapa lampu teplok kaleng sarden
dan Strong King dari ventilasi rumah warga
saja. Tak terkecuali di rumahku, lampu teplok kaleng sarden menjadi pilihan walau
sudah memiliki mesin diesel. Kata Apa itu demi menghemat bahan bakar, sebab mendatangkannya
agak susah dari kota. Butuh sebulan lebih menggunakan kapal dagang.
***
Larut
dalam canda dan menghitung bintang-bintang yang tak pernah menemui kesudahan,
tiba-tiba Umai memanggil dengan suara
agak keras dari bibir pintu rumah. Kami menengadah ke arahnya, di sebelahnya
sudah berdiri seorang wanita tua mengenakan tapih
dengan atasan kabaya lusuh
berwarna putih pudar. Rekah senyum ramah ciri khasnya seakan menyapu kesedihan
yang menyelip di hati seseorang. Dialah Mina kami Indu Marno, saudari hanjenan Umai. Sosok
legenda dalam dunia perdongengan di kampung yang aku tunggu-tunggu sebelum
lena.
“Asyik,
yuhu!” ucapku kegirangan.
“Ah, lebih asyik kita
bahas mitologi Yunani atau film kartun saja Dai, daripada kisah-kisah kuno,” gumam
Kak Awi yang enggan beranjak dari hamparan kardus.
“Yey, Kak Awi. Dengar cerita Mina lebih asyik tahu! Tidur enak
he-he,” jawabku sembari mengangkat alis.
“Dasar tukang tidur,
wek! Ya sudah kamu ke sana, aku di sini saja dulu.” Kak Awi terlihat kesal,
kedua tangannya ia lipat ke belakang kepalanya. Matanya kembali menikmati
indahnya angkasa. Namun, dari arah sana Umai masih saja memanggil, membuat Kak
Awi tak berdaya dan turut beranjak dengan jengkel. Suara tapak kaki dan seretan
kardusnya kisruh. Seakan tak peduli jika Mina bisa saja tersinggung dengan
sikap sarkastiknya.
Sesampainya
di teras dekat pintu, aku menggandeng tangan Mina dan membawanya pelan-pelan ke
dalam rumah. Diam-diam Umai menasehati Kak Awi yang masih cemberut, diapun
akhirnya ikut menuntun tangan Mina bersamaku. Tak banyak kata sepanjang kami
menuju loteng rumah.
Laiknya
desain kebanyakan rumah-rumah panggung warga Dayak Ngaju, loteng rumah kami
juga difungsikan sebagai tempat tidur. Jadi, jalan untuk ke atas hanya bisa
melalui tangga. Mina menolak bantuan kami ketika menaikinya, dengan dalih dilakukan sendiri itu menyenangkan dan menyehatkan
jantung. Sungguh kagum dengan kepribadiannya. Beberapa saat kami sudah berada
di kamar, Umai sudah menggelar kasur
di lantai lengkap dengan seprei, bantal, guling dan selimutnya. Bukan maksud
apa-apa, hanya saja Mina tidak bisa lelap di ranjang.
Kala
dirasa persiapan sebelum tidur sudah lengkap, Minapun mengajak kami rebah.
Beliau kami apit bak guling. Sembari membelai rambutku dan Kak Awi, Mina mulai
bercerita. Bagian awal yang selalu tak ingin kulewatkan adalah memperhatikan
sorot kedua bola matanya yang putih semua. Tampak seperti mega mendung dibalik
pendaran lampu teplok kaleng sarden di jihi
dinding.
“Atun ije kesah pas huran tege…” kalimat
pembuka dari Mina seperti obat insomnia mujarab. Tuturan kalem dan bersahaja
itu membuat mataku ruyup tak tahan, demikian pula dengan Kak Awi yang mulai
menikmati suasana ini.
***
Apa
Raja Haring dan Nyai Ratu Kameluh serta para bangsawan telah memadati pinggiran
sungai ujian jodoh bagi para putri. Berseberangan di sana, rakyat kerajaan riuh
berbisik. Mereka menari manasai
ketika beberapa saudariku menyebut gelar suami mereka kala terjatuh dari alu yang
diletakkan di atas permukaan sungai.
“Eh,
suamiku Takuluk Pundang!” beberapa kali kakiku mencoba menyusuri alu, tetap
saja lisanku lantang menyebut nama seseorang yang aneh muncul begitu saja di
pikiran. Padahal keenam saudariku latah menyebut jodoh mereka Adipati, Damang,
Tamanggung, Pangkalima, Singa dan Saudagar.
Di
atas kursi singgasananya, Apa Raja Haring terlihat berang. Baginya ini adalah
aib yang memalukan. Laki-laki anonim itu tak pantas menikahi Putir Busu
sepertiku. Hingga akhirnya ia tega memerintahkan para pengawal untuk membuangku
ke belantara hutan di mana aku termangu sekarang.
Entah berapa sering
semak belukar yang daunnya tajam seperti silet telah mencoreng lengan dan
kakiku hingga berdarah. Tak dibekali apa-apa bahkan alas kaki sekalipun. Kadang
aku terduduk untuk luapkan rasa dengan isakan yang hanya dipedulikan oleh silir
angin dengan madah berlariknya. Aku kelelahan dan kelaparan. Paling parah lagi
ketika aku tak tahu kakiku melangkah ke arah pemukiman desa seberang ataukah
tersesat selamanya.
Sekitar
dua hari sudah aku menyusuri hutan. Jika malam menjelang, aku tidur di bawah
pohon-pohon besar. Tak usah bayangkan apa yang kurasakan ketika suara-suara
binatang mencekam, terutama ketika sebagian mereka berdesis dan berseliweran
tanpa kaki di dekatku. Tak ada yang bisa kuharapkan sebagai penolong selain Hatalla
Langit.
Untuk mengganjal perut,
aku hanya mengandalkan pucuk dedaunan yang kuanggap bisa dimakan atau beberapa
jenis serangga yang kutemui. Sedangkan untuk menghilangkan dahaga, aku bisa
berlega sedikit karena ada beberapa anak sungai yang kutemui sepanjang
perjalanan. Aku mencoba tegar. Sampai pada senja hari berikutnya, mataku
menangkap secercah harap. Ada sebuah gubuk panggung beratap rumbia dan
berdinding bambu yang dijalin apik. Di depannya ada sepasang obor sebagai
penerang. Kuberanikan diri mendekat dan berniat mengetuk pintunya. Aku sangat
yakin penghuni gubuk ini ada di dalamnya.
Dengan semangat aku
mengetuk, tak berapa lama sahutan dari dalam mempersilakan aku untuk masuk.
Sepertinya dia seorang laki-laki. Jika keadaanku tak begitu lemah, mungkin
kuurungkan ke dalam.
“Pergilah ke dapur, ada
hidangan untukmu!” ucapnya ketika aku menyapu seisi ruangan dengan tatapan
nanar. Kelaparan ataukah terlalu bodoh, aku mengikuti saja tawarannya. Betul
saja, di atas sebuah meja lesehan dapur, ada beberapa hidangan terlihat lezat
dan hangat. Sengaja tak ditudung rupanya. Aku duduk pelan-pelan dan
menyantapnya setelah mengucapkan terima kasih atas kebaikan si empunya gubuk.
Perut kekenyangan
akupun tertidur. Waktu berjalan menuju tengah malam, aku terbangun karena ingin
buang air kecil. Mataku mencoba memindai segala sudut untuk mencari tempat,
nihil. Ingin memutuskan untuk tidur kembali, namun pendaran sinar keemasan dari
dalam kamar pemilik gubuk membuatku sangat penasaran. Aku mencoba masuk dengan
hati-hati, takut pemiliknya marah dan mengusirku. Syukur dia tidak ada di sana.
Aku semakin mendekat dan mencoba mengambil benda tersebut. Ternyata itu adalah
sebuah jubah bersisik mirip ikan. Seketika bulu kudukku merinding, aku keluar
kamar dan pergi ke dapur kembali. Kucoba nyalakan api di perapian, agar bisa
melihatnya dengan jelas. Sebab terlalu dekat, tak dinyana ujung jubah itu
terbakar. Kucoba meniupnya malah semakin melumat seluruh jubah. Bersamaan sisa
pembakaran, kepingan sisik logam emas berjatuhan. Aku terperanjat dengan apa
yang kulihat. Apakah aku telah berada di dunia gaib atau apa?
“Apa yang telah kaulakukan
dengan jubahku?” suara laki-laki di belakangku terdengar sangat geram. Aku
berpaling ke arahnya gemetar. Saat sosok itu terlihat sepenuhnya, ketakutanku
luruh. Dia bak ratna mutu manikam, sempurna. Aku tertunduk malu namun merasa
sangat bahagia seketika. Mungkin sekarang keadaan pipiku memerah.
***
Ketika aku mencoba
minta maaf, suasana yang anehpun terjadi. Latar di dekatku berubah seketika. Sayup-sayup
suara teman-temanku terdengar memanggil dari
balik badan laki-laki ini yang semakin memudar dari pandangan.
“Adai, sekarang
giliranmu bercerita!” aku mengusap-usap mataku perlahan. Di depanku sudah
berdiri Bu Manyang, guru Bahasa Indonesiaku. Tak tahu berapa lama sudah dia
berada di sana. Tetapi, sepertinya cukup mengkhawatirkan bila dilihat dari
cekikan teman-teman sekelasku.
Ketika giliranku
bercerita, seisi ruangan kelas begitu antusias, begitu pula dengan Bu Manyang.
Maklum, cerita rakyat yang kubawakan seakan hal baru bagi mereka. Bukan ceritanya
yang tidak ada, namun banyak orangtua yang melupakan kebiasaan mendongeng
cerita daerahnya ke anak keturunannya.
“Adai, kamu berbakat
jadi pendongeng, Nak. Ibu senang sekali kamu banyak tahu cerita rakyat
Kalimantan Tengah.” Bu Manyang menarik napas bangga.
“Lestarikan ya!” timpalnya sembari tersenyum penuh makna. Aku menggangguk pasti, pandanganku kulayangkan keluar dari jendela kelas. Ada cita-cita yang dilambungkan ke langit masa depan. Sebuah kreatifitas yang tumbuh dari cerita-cerita bermoral Dayak Ngaju.
Tumbang Miri, 18
Mei 2021
Catatan: Cerpen ini meraih peringkat ke 27 dari 145 naskah cerpen yang diselenggarakan oleh ytprayeh.com
Tumbang Miri, 05 Juni 2020
Komentar
Posting Komentar